Bulughul Maram
Kitab Thaharah: Bab Wudhu, Perintah Istintsar Ketika Bangun Tidur, Hadis No. 37
Artikel - Kamis, 12 Mei 2022
37 - وَعَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ - رضي الله عنه - قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم: «إِذَا اسْتَيْقَظَ أَحَدُكُمْ مِنْ مَنَامِهِ فَلْيَسْتَنْثِرْ ثَلَاثًا, فَإِنَّ الشَّيْطَانَ يَبِيتُ عَلَى خَيْشُومِهِ». مُتَّفَقٌ عَلَيْه. (1)
__________
(1) - صحيح. رواه البخاري (3295)، ومسلم (238)
34. Dari Abu Hurairah RA, Rasulullah SAW bersabda, “Apabila salah seorang dari kalian bangun tidur, maka hendaklah beristintsar tiga kali, karena sesungguhnya setan bermalam di dalam khaisyum (lubang hidung)nya.” (Muttafaq alaih)
[Shahih: Al Bukhari 3295, Muslim 238]
ـــــــــــــــــــــــــــــ
[سبل السلام]
Penjelasan Kalimat
Apabila salah seorang dari kalian bangun tidur, (baik pada waktu malam maupun siang hari) maka hendaklah beristintsar tiga kali, (dalam Al Qamus, istantsar artinya menghirup air ke dalam hidung, kemudian menghembuskannya. Terkadang dalam satu hadits disebutkan keduanya, maka jika demikian istantsar artinya menghembuskan air dari hidung dan istinsyaq artinya menghirup air ke dalam hidung) karena sesungguhnya setan bermalam di dalam khaisyum (lubang hidung)nya.” (yaitu bagian hidung paling atas, ada yang mengatakan hidung secara keseluruhannya, yang lain mengatakan tulang tipis tapi lunak pada ujung hidung yang terdapat antara hidung dan otak)
Tafsir Hadits
Hadits tersebut adalah dalil wajibnya ber-istintsar ketika bangun tidur secara mutlak, tetapi dalam riwayat Al Bukhari,
«إذَا اسْتَيْقَظَ أَحَدُكُمْ مِنْ مَنَامِهِ فَتَوَضَّأَ فَلْيَسْتَنْثِرْ ثَلَاثًا فَإِنَّ الشَّيْطَانَ......»
“Apabila salah seorang kamu bangun dari tidurnya lalu berwudhu, maka hendaklah beristintsar tiga kali karena sesungguhnya setan......”
Maka di sini ia membatasi perintah mutlak tadi dengan perintah berwudhu, dan membatasi bangun tidur dengan tidur di malam hari, sebagaimana dijelaskan oleh lafazh ’yabiitu’ sebab lafazh tersebut berlaku secara umum, maka tidak ada perbedaan antara tidur pada waktu malam dan siang.
Hadits tersebut juga termasuk di antara dalil bagi yang berpendapat wajibnya istintsar tanpa berkumur-kumur, yaitu pendapat Ahmad dan Jama’ah. sedang jumhur berkata, ‘Tidak wajib’, tetapi perintah tersebut menunjukkan sunnah, mereka berdasarkan dalil sabda rasul terhadap Arab Badui:
تَوَضَّأْ كَمَا أَمَرَك اللَّهُ
“Berwudhulah sebagaimana yang diperintahkan Allah kepadamu.”
[shahih: shahih At Tirmidzi 302]
Lalu beliau menjelaskan kepada orang Arab Badui tersebut dalam sabdanya:
لَا تَتِمُّ صَلَاةُ أَحَدٍ حَتَّى يُسْبِغَ الْوُضُوءَ كَمَا أَمَرَهُ اللَّهُ فَيَغْسِلَ وَجْهَهُ وَيَدَيْهِ إلَى الْمِرْفَقَيْنِ وَيَمْسَحَ رَأْسَهُ وَرِجْلَيْهِ إلَى الْكَعْبَيْنِ
“Tidak sempurna shalat salah seorang kamu hingga ia menyempurnakan wudhu sebagaimana yang diperintahkan Allah, ia membasuh wajah dan kedua tangannya hingga kedua siku, dan mengusap kepala dan mencuci kedua kaki hingga mata kaki.”
[Shahih: shahih Abu Daud 858]
Sebagaimana dikeluarkan oleh Abu Daud dari hadits Rifa’ah, dan karena telah ditegaskan dalam riwayat sifat wudhu beliau SAW dari hadits Abdullah bin Zaid, Utsman dan Abdullah bin Amr bin Ash bahwa keduanya tidak disebutkan, meski wudhu beliau SAW telah sempurna, juga keduanya disebutkan dan itu adalah dalam sunnah.
Berkenaan dengan sabda beliau, “Setan bermalam”, Al Qadhi Iyad berkata, “Boleh jadi mengandung makna sebenarnya, sebab hidung adalah salah satu saluran tubuh yang sampai ke hati dengan penciuman, dan tidak ada satupun dari saluran tubuh yang memiliki katup kecuali hidung dan telinga.”
Disebutkan dalam hadits:
«إنَّ الشَّيْطَانَ لَا يَفْتَحُ غَلَقًا»
“Sesungguhnya setan tidak dapat membuka penutup tersebut.”
[Shahih: Al Bukhari 3304, Muslim 2012]
Dan disebutkan dalam hadits perintah menutup mulut ketika menguap agar setan tidak masuk ke dalam mulut pada saat itu.
[Shahih: Muslim 2994]
Juga mengandung makna istiarah, karena debu yang menjadi basah dalam hidung adalah kotoran yang sama dengan setan. Saya katakan bahwa yang pertama lebih kuat.
ـــــــــــــــــــــــــــــ
[إبانة الأحكام]
وَعَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ - رضي الله عنه - قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم: «إِذَا اسْتَيْقَظَ أَحَدُكُمْ مِنْ مَنَامِهِ فَلْيَسْتَنْثِرْ ثَلَاثًا, فَإِنَّ الشَّيْطَانَ يَبِيتُ عَلَى خَيْشُومِهِ». مُتَّفَقٌ عَلَيْه.
34. Daripada Abu Hurairah (r.a), beliau berkata: Rasulullah (s.a.w) pernah bersabda: “Jika seseorang di antara kamu bangun dari tidurnya, maka hendaklah dia beristintsar sebanyak tiga kali, kerana sesungguhnya syaitan menginap di dalam lubang hidungnya.” (Muttafaq 'alaih)
Makna Hadis
Syaitan mengalir di dalam tubuh manusia melalui peredaran darah. Ia menguasai jiwa pada waktu berjaga mahupun pada waktu tidur. Syaitan duduk di bahagian atas lubang hidung, kerana lubang hidung merupakan jalan yang tembus ke hati dan tidak mempunyai penutup seperti yang ada pada kedua-dua telinga. Oleh itu, hidung merupakan tempat duduk syaitan, sedangkan kedua-dua telinga merupakan tempat kencing syaitan seperti yang telah dijelaskan dalam hadis yang lain. Hidung pun merupakan tempat cecair dan kotoran berhimpun dan oleh kerananya, amalan istintsar ini sangat tepat untuk dilakukan. Cara menghalau syaitan dalam keadaan hina dan rendah supaya tidak duduk di dalamnya ialah dengan cara ber-istintsar.
Analisis Lafaz
مَنَامِهِ masdar mimi dan memiliki makna yang sama dengan al-naum, yakni tidur.
فَلْيَسْتَنْثِرْ, al-istintsar ialah mengeluarkan air dari hidung sesudah terlebih dahulu memasukkannya ke dalamnya.
خَيْشُومِهِ bahagian atas lubang hidung.
Fiqh Hadis
Disunatkan melakukan istintsar ketika bangun dari tidur. Maksud tidur dalam hadis ini ialah tidur pada waktu malam hari kerana disimpulkan dari lafaz setelahnya mengatakan يَبِيتُ (menginap).
Menurut jumhur ulama, ber-istintsar sesudah bangun tidur adalah sunat kerana berlandaskan kepada sabda Nabi (s.a.w) kepada seorang Arab badwi: “Berwuduklah seperti mana yang telah diperintahkan oleh Allah kepadamu!” Perintah dalam hadis ini menunjukkan sunat. Tetapi Imam Ahmad dan sekumpulan ulama yang lain mengatakan wajib ber-istintsar kerana berlandaskan kepada makna zahir perintah dalam hadis itu.
Sumber: 1. Bulugh al-Maram min Adillat al-Ahkam karangan Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqalani (773 H - 852 H) 2. Subulus Salam Karangan Imam Ash-Shan'ani (w. 1182 H). 3. Ibanatul Ahkam Karangan Alawi Abbas Al-Maliki (w. 1391 H) dan Hasan Sulaiman An-Nuri.
Penulis: Mualif
Editor: Muhamad Basuki
©Al-Marji' 2022