Bulughul Maram

01. Kitab Thaharah: 1. Bab Air - 05. Larangan Mandi di Air yang Diam - Hadis No. 6

  • ARTIKEL
  • Jumat, 8 April 2022 | 05:29 WIB
foto

Foto: ©thoughtco.com

Dalam ilmu geografi, oasis atau Wahah atau isitilah pinjaman oase adalah suatu daerah yang subur dan terpencil yang berada di tengah gurun, umumnya mengelilingi suatu mata air atau sumber air lainnya dan memiliki beberapa pepohonan disekitarnya. (Wikipedia)

- وَعَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ - رضي الله عنه - قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم: «لَا يَغْتَسِلُ أَحَدُكُمْ فِي الْمَاءِ الدَّائِمِ وَهُوَ جُنُبٌ». أَخْرَجَهُ مُسْلِمٌ. (1)
وَلِلْبُخَارِيِّ: «لَا يَبُولَنَّ أَحَدُكُمْ فِي الْمَاءِ الدَّائِمِ الَّذِي لَا يَجْرِي, ثُمَّ يَغْتَسِلُ فِيهِ». (2)
وَلِمُسْلِمٍ: «مِنْهُ». (3)
وَلِأَبِي دَاوُدَ: «وَلَا يَغْتَسِلُ فِيهِ مِنَ الْجَنَابَةِ». (4)
__________
(1) - صحيح. رواه مسلم (283)
(2) - البخاري رقم (239)
(3) - مسلم رقم (282)
(4) - سنن أبي داود (70)

5. Dari Abu Hurairah RA, ia berkata, ‘Rasulullah SAW bersabda, “Janganlah salah seorang dari kalian mandi dalam air yang tenang (tidak mengalir) sedang ia junub.” (HR. Muslim)

[Shahih: Muslim 283]

Dan bagi Al Bukhari, “Janganlah sekali-kali salah seorang kalian kencing dalam air tenang yang tidak mengalir kemudian ia mandi di dalamnya.”

[shahih: Al Bukhari 239, Muslim 282]

Dan bagi Muslim, “Darinya”, dan bagi Abu Daud, “Dan janganlah ia mandi junub di dalamnya.”

[shahih: shahih Al Jami 7595]

ـــــــــــــــــــــــــــــ

[سبل السلام]

Penjelasan Kalimat

Janganlah salah seorang kalian mandi di dalam air yang tenang (yaitu air yang diam tergenang, dan disebutkan sifatnya yaitu yang tidak mengalir) sedang ia junub (Muslim meriwayatkannya dengan lafazh ini) di dalamnya (menunjukkan bahwa janganlah ia mandi dengan menyelam di dalamnya, dan bisa juga menunjukkan bahwa janganlah ia mengambil darinya lalu mandi di luar) janganlah ia mandi (menunjukkan bahwa larangan melakukan kedua hal tersebut secara tersendiri, sebagaimana dua kemungkinan yang pertama dalam riwayat) kemudian ia mandi darinya.

Tafsir Hadits

Abu Daud berkata dalam Asy Syarh, “Larangan ini jika pada air yang banyak menunjukkan makruh, dan jika pada air yang sedikit menunjukkan haram.” Ada yang berpendapat, bahwa berdasarkan hal tersebut dapat menjadikan penggunaan lafazh larangan tersebut secara hakiki dan majazi. Maka yang lebih baik adalah keumuman majaz dan larangan tersebut digunakan pada makna tidak melakukannya yang mengandung unsur keharaman dan kemakruhan melakukannya.

Adapun hukum air diam yang tidak mengalir, najisnya air sebab bercampur dengan air seni, atau larangan mandi junub di dalamnya, menurut mereka yang berpendapat bahwa air tidak najis melainkan jika salah satu sifatnya berubah, larangan penggunaannya itu bersifat ta’abbudi dan air tetap suci. Ini adalah pendapat Malikiyah yang membolehkan bersuci dengannya, karena larangan tersebut menurut mereka hanyalah menunjukkan makruh. Sedangkan menurut Azh Zhahiriyyah adalah haram. Meskipun larangan tersebut ta’abbudi dan bukan lantaran najis, akan tetapi pada dasarnya setiap larangan itu menunjukkan haram. Dan menurut yang membedakan antara air sedikit dengan air yang banyak, “Jika air itu banyak, maka ia dikembalikan pada asalnya dalam membatasinya, jika tidak berubah salah satu sifatnya berarti ia suci dan dalil atas kesuciannya adalah takhshish (pengkhususan) keumumannya”. Tetapi pendapat ini dapat dibantah, “Jika kalian mengatakan bahwa larangan yang menunjukkan makruh tersebut adalah pada air yang banyak, maka tidak boleh membatasinya lantaran keumuman hadits dalam bab ini, dan jika air itu sedikit maka dalam membatasinya dikembalikan kepada asalnya, maka larangan menggunakannya menunjukkan keharaman, karena ia tidak suci dan tidak menyucikan.” Ini menurut prinsip mereka bahwa larangan tersebut lantaran najis.

Disebutkan dalam Asy Syarh beberapa pendapat mengenai kencing dalam air, yaitu tidak dilarang pada air banyak yang mengalir sebagaimana yang dipahami dalam hadits ini, tetapi lebih baik dihindari. Adapun air sedikit yang mengalir, ada yang mengatakan makruh dan ada juga yang mengatakan haram. Ini yang lebih baik.

Saya katakan, “Yang lebih baik justru sebaliknya, karena hadits tersebut adalah larangan buang air kecil dalam air yang tidak mengalir, maka tidak mencakup yang mengalir sedikit atau banyak.” Tetapi seandainya dikatakan makruh akan lebih dekat. Jika airnya banyak dan tergenang, maka ada yang berpendapat makruh secara mutlak. Ada pula yang berpendapat jika ia kencing dengan sengaja hukumnya makruh, namun jika ia terpaksa dan sudah berada di dalamnya maka hukumnya tidak makruh.

Dalam Asy Syarh ia berkata, “Seandainya dikatakan bahwa hal itu menunjukkan haram, maka larangan tersebut akan lebih jelas dan lebih sesuai dengan zhahirnya, karena akan merusak yang lainnya dan mengandung mudharat bagi kaum Muslimin. Dan jika air tenang dan sedikit, maka yang benar adalah haram berdasarkan hadits tersebut.”

Kemudian, apakah hukum keharaman pada air yang sedikit juga berlaku pada selain air seni, seperti tinja? Menurut Jumhur, hal itu lebih layak untuk disamakan, dan menurut Ahmad bin Hambal, yang lain tidak menyamakan dengannya, tetapi hukum tersebut khusus bagi air seni. Sabda beliau, ‘dalam air sangat jelas merupakan larangan kencing di dalamnya, sehingga harus dijauhi, maka jika kencing di dalam bejana kemudian dituangkan ke dalam air tenang maka hukumnya sama. Sedang menurut Daud, tidak menajiskannya dan tidak terlarang, kecuali pada kejadian yang pertama, selainnya tidak.

Hukum berwudhu  dalam air yang telah dikencingi sama seperti hukum mandi, sebab hukumnya satu. Dalam satu riwayat disebutkan:

«لَا يَبُولَنَّ أَحَدُكُمْ فِي الْمَاءِ الدَّائِمِ ثُمَّ يَتَوَضَّأُ مِنْهُ»

“Janganlah salah seorang dari kalian kencing dalam air yang diam kemudian ia berwudhu  darinya.”

[Shahih : Shahih Al Jami 7594]

Ia menyebutkan dalam Asy Syarh dan tidak dinisbatkan kepada siapapun, dikeluarkan oleh Abdurrazzaq, Ahmad, Ibnu Abi Syaibah dan At Tirmidzi. Ia berkata hasan shahih. Dan diriwayatkan oleh Ibnu Hibban dari hadits Abu Hurairah RA secara marfu, dan dikeluarkan oleh Ath Thahawi, Ibnu Hibban dan Al Baihaqi dengan tambahan,

[أَوْ يَشْرَبُ]

atau minum darinya.”

[Shahih: Ta’liq Ibnu Hibban 1256]

ـــــــــــــــــــــــــــــ

[إبانة الأحكام]

5. Daripada Abu Hurairah (r.a) bahawa Rasulullah (s.a.w) pernah bersabda: “Janganlah seseorang dari kamu mandi di dalam air yang tergenang, sedangkan dia dalam keadaan berjunub.” (Disebut oleh Muslim)

Lafaz yang dikemukakan oleh Imam al-Bukhari seperti berikut: “Jangan sekali-kali seseorang di antara kamu kencing di dalam air yang tidak mengalir, kemudian mandi di dalam air itu.” Sedangkan menurut riwayat Muslim disebutkan “minhu” yang ertinya “kemudian ia mandi daripada air itu.” Riwayat yang dikemukakan oleh Abu Dawud seperti berikut: “Dan janganlah seseorang mandi junub di dalamnya (di dalam air yang tidak mengalir).”

Makna Hadis

Hadis ini merupakan salah satu asas yang membahaskan tentang masalah bersuci yang dianjurkan oleh syariat Islam. Melalui hadis ini Rasulullah (s.a.w) melarang orang yang berjunub mandi di dalam air yang tergenang dan tidak mengalir, sebab dengan kerap mandi di dalamnya dikhuatiri akan mengakibatkan air menjadi berubah. Tujuan utama larangan ini ialah menjauhkan diri daripada perkara-perkara kotor ketika bertaqarrub (ibadah mendekatkan diri) kepada Allah.

Hadis ini mengandungi larangan kencing sekali gus mandi di dalam air yang tidak mengalir. Adapun larangan kencing di dalam air yang tergenang maka ini disimpulkan daripada riwayat yang diketengahkan oleh Imam Muslim. Riwayat Muslim mengatakan bahawa Nabi (s.a.w) melarang kencing dan mandi di dalam air yang tergenang, apabila orang yang bersangkutan dalam keadaan berjunub. Larangan ini menunjukkan hukum makruh bagi air yang banyak, dan haram bagi air yang jumlahnya sedikit.

Analisis Lafaz

الْمَاءِ الدَّائِمِ, air yang tidak mengalir, iaitu air yang tergenang.
جُنُبٌ, orang yang berjunub jinabah atau hadas besar. Perkataan junub digunakan untuk bentuk mufrad dan jamak dengan lafaz yang sama.
ثُمَّ يَغْتَسِلُ فِيهِ, lafaz يَغْتَسِلُ  dibaca rafa' kerana berkedudukan sebagai khabar kepada mubtada' yang tidak disebutkan. Bentuk lengkapnya ialah ثُمَّ هم يَغْتَسِلُ فِيهِ, sedangkan jumlah ثُمَّ هم يَغْتَسِلُ   berkedudukan sebagai 'illat (penyebab) larangan. Makna yang dimaksudkan ialah “Jangan sekali-kali seseorang dari kamu kencing di dalam air yang tergenang, kemudian mandi di dalamnya atau berwuduk daripadanya.” Lafaz ثُمَّ menunjukkan pengertian istib'ad (mustahil), seakan-akan dikatakan: “Bagaimana mungkin seseorang itu tergamak kencing di dalam air yang tergenang, sedangkan dia sendiri memerlukannya untuk mandi atau keperluan yang lain?” Kalimat ini menunjukkan pengertian bahawa tidak boleh mandi di dalam air tersebut dengan menceburkan diri, umpamanya.
وَلِمُسْلِمٍ: مِنْهُ, sedangkan menurut riwayat Muslim disebutkan مِنْهُ, bukan فِيهِ yang ertinya “Jangan sekali-kali seseorang dari kamu kencing di dalam air yang tidak mengalir, lalu dia mandi dengan memakai air itu (yang dia kencing di dalamnya).” Riwayat Muslim ini menunjukkan pengertian bahawa seseorang tidak boleh mengambil air itu lalu mandi di luarnya.
وَلَا يَغْتَسِلُ, dibaca rafa' tetapi meskipun bentuknya nafi, namun maknanya adalah nahi (larangan). Ungkapan ini lebih tepat. Maksud hadis ini ialah “Seandainya air tersebut mengalir, maka tidak dilarang kencing di dalamnya namun apa yang lebih diutamakan ialah tidak melakukan perbuatan itu sekalipun airnya tetap mengalir.”

Fiqh Hadis

1. Orang yang berjunub dilarang mandi di dalam air yang tergenang (tidak mengalir).
2. Air yang tergenang tidak najis karena orang yang berjunub mandi di dalamnya, sebaliknya ia hanya menghapuskan sifat menyucikannya. Jadi, airnya masih boleh digunakan untuk keperluan lain kecuali untuk menghilangkan hadas dan menghilangkan najis.
3. Dilarang kencing di dalam air yang tergenang, sebab itu akan menyebabkan air menjadi tercemar.
4. Hadis ini membuktikan bahawa air kencing itu najis.

Sumber: 1. Subulus Salam Karangan Imam Ash-Shan'ani (w. 1182 H). 2. Ibanatul Ahkam Karangan Alawi Abbas Al-Maliki (w. 1391 H) dan Hasan Sulaiman An-Nuri.

 

Penulis: Mualif
Editor: Muhamad Hanif Ja'far Shiddiq
©2022 Al-Marji'

Bagikan melalui:

Topik Pilihan