47 - وَعَنْ جَابِرٍ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ - رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا - فِي صِفَةِ حَجِّ النَّبِيِّ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - قَالَ [ص:18] صلى الله عليه وسلم: «ابْدَؤُوا بِمَا بَدَأَ اللَّهُ بِهِ». أَخْرَجَهُ النَّسَائِيُّ, هَكَذَا بِلَفْظِ الْأَمْرِ (1) وَهُوَ عِنْدَ مُسْلِمٍ بِلَفْظِ الْخَبَرِ. (2)
__________
(1) - صحيح. النسائي (536)
(2) - مسلم (2/ 888)، أي: بلفظ: «أبدأ» وانظر رقم (742)
44. Dari Jabir bin Abdullah RA mengenai sifat haji Nabi SAW, beliau bersabda, “Mulailah dari apa yang Allah memulai dengannya.” (HR. An Nasa'i dengan lafazh perintah seperti ini, sedang menurut Muslim dengan lafazh khabar)
[Sunan Al Kubro An Nasa'i 2/413]
[Shahih Muslim 1218]
ـــــــــــــــــــــــــــــ
[سبل السلام]
Biografi Perawi
Nama lengkap Jabir adalah Abu Abdullah Jabir bin Abdullah bin Amr bin Haram, Al Anshari As Sulami. Termasuk shahabat yang sangat terkenal. Ia turut serta dalam perang Badr. Turut serta bersama Nabi SAW dalam 18 peperangan. Ia ikut serta dalam perang Shiffin bersama Ali Ra. Termasuk di antara shahabat yang terbanyak hafalannya. Penglihatannya buta pada akhir umurnya dan meninggal dunia pada tahun 74 H atau 77 H di Madinah dalam usia 94 tahun. Ia adalah shahabat yang terakhir meninggal dunia di Madinah.
Tafsir Hadits
Hadits ini dikeluarkan oleh An Nasa'i dengan lafazh perempuan seperti ini. sedang menurut Muslim dengan lafazh khabar, yaitu dengan lafazh (نَبْدَأُ) ‘aku memulai’. Lafazh hadits tersebut: Ia berkata, ‘Kemudian ia keluar ke Shafa’, yakni Nabi SAW keluar dari Masjidil Haram setelah thawaf untuk umrah ke Shafa. Setelah dekat Shafa beliau membaca,
{إِنَّ الصَّفَا وَالْمَرْوَةَ مِنْ شَعَائِرِ اللَّهِ} [البقرة: 158] نَبْدَأُ بِمَا بَدَأَ اللَّهُ بِهِ
‘Sesungguhnya shafa dan Marwah adalah sebagian dari syiar Allah.....’ (QS. Al-Baqarah [2]: 158), Aku memulai dengan apa yang Allah memulai dengannya...’ Dengan lafazh khabar fi’lalu mudhari, beliau memulainya dengan Shafa karena Allah memulai dengannya dalam ayat.
Penulis menyebutkan potongan hadits Jabir di sini untuk menunjukkan bahwa yang pertama disebutkan oleh Allah, maka dengan itulah kita memulai mengerjakannya. Sibawaih berkata, “Sesungguhnya mereka –yaitu orang Arab- mendahulukan apa yang mereka anggap lebih penting, dan merekalah yang lebih mengetahuinya.”
Karena lafazh tersebut bersifat umum, sedang yang umum tidak boleh dibatasi dengan penyebabnya. Yang saya maksudkan adalah kalimat (بِمَا بَدَأَ اللَّهُ بِهِ) ‘dengan apa yang Allah memulai dengannya’, karena huruf maa di sini adalah maushulah dan maushulah termasuk kata umum. Sedangkan ayat wudhu dalam firman Allah SWT:
{فَاغْسِلُوا وُجُوهَكُمْ وَأَيْدِيَكُمْ إِلَى الْمَرَافِقِ وَامْسَحُوا بِرُءُوسِكُمْ}
“.... maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuhlah) kakimu sampai dengan kedua mata kaki...” (QS. Al-Maidah [5]: 6) termasuk dalam perintah tersebut. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah SAW, ‘mulailah dengan apa yang Allah memulai dengannya.’ Maka wajib memulai dengan membasuh wajah, kemudian anggota wudhu lainnya secara berurutan. Meskipun ayat tersebut tidak menunjukkan untuk mendahulukan kedua tangan dan bagian kanan atas yang kiri, sebagaimana yang baru saja dibahas.
Al Hanafiyah dan yang lainnya berpendapat bahwa berurutan (tartib) pada anggota-anggota wudhu tidak wajib. Berdasarkan hadits Ibnu Abbas:
«أَنَّهُ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - تَوَضَّأَ فَغَسَلَ وَجْهَهُ وَيَدَيْهِ ثُمَّ رِجْلَيْهِ ثُمَّ مَسَحَ رَأْسَهُ بِفَضْلِ وَضُوئِهِ»
‘Bahwa Nabi SAW berwudhu, lalu membasuh wajahnya, kedua tangan dan kakinya, kemudian mengusap kepalanya dengan sisa wudhunya.’
Dapat dijawab, bahwa tidak dikenal ada jalur periwayatan hadits ini yang shahih, sehingga dapat dijadikan dalil.
Kemudian, tidak diragukan lagi bahwa yang utama adalah mendahulukan hadits Jabir atas hadits Al Mughirah, dan menghubungkannya dengan hadits Abu Hurairah RA, karena kemiripan kandungan hukumnya.***
ـــــــــــــــــــــــــــــ
[إبانة الأحكام]
وَعَنْ جَابِرٍ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ - رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا - فِي صِفَةِ حَجِّ النَّبِيِّ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - قَالَ [ص:18] صلى الله عليه وسلم: «ابْدَؤُوا بِمَا بَدَأَ اللَّهُ بِهِ». أَخْرَجَهُ النَّسَائِيُّ, هَكَذَا بِلَفْظِ الْأَمْرِ وَهُوَ عِنْدَ مُسْلِمٍ بِلَفْظِ الْخَبَرِ
44. Daripada Jabir (r.a) tentang gambaran haji yang dilakukan oleh Nabi (s.a.w), bahawa baginda bersabda: “Hendaklah kamu memulai dengan apa yang telah dimulakan oleh Allah.” (Disebut oleh al-Nasa'i dengan ungkapan perintah, sedangkan menurut riwayat Muslim dengan ungkapan kalimat berita)
Makna Hadis
Hadis ini akan dikemukakan lagi dalam bentuk yang lengkap berikut keterangannya mengenai gambaran ibadah haji dan memasuki kota Mekah pada hadis no. 698.
Apa yang hendak dikemukakan oleh hadis ini adalah selanjutnya Rasulullah (s.a.w) keluar dari pintu Masjidil Haram menuju ke Shafa. Ketika menghampiri Shafa, baginda membaca firman-Nya: “Sesungguhnya Shafa dan Marwa adalah sebahagian daripada syi'ar Allah.” (Surah al-Baqarah [02]: 158) dan bersabda: “Hendaklah kamu memulai dengan apa yang telah dimulakan oleh Allah.” Nabi (s.a.w) memulakan sa‟e dari Shafa kerana Allah (s.w.t) telah berfirman:
اِنَّ الصَّفَا وَالْمَرْوَةَ مِنْ شَعَاۤىِٕرِ اللّٰهِ ۚ
“Sesungguhnya Shafa dan Marwa adalah sebahagian daripada syi'ar Allah...” (Surah al-Baqarah [02]: 158)
Kalimat hadis yang mengatakan: “Hendaklah kamu memulai dengan apa yang telah dimulakan oleh Allah” adalah bersifat umum sehingga wuduk pun termasuk ke dalam pengertiannya. Oleh itu, diwajibkan pula berurutan ketika berwuduk bersesuaian dengan apa yang dimulakan oleh Allah dengan mendahulukan wajah hingga membasuh kedua kaki seperti yang disebutkan di dalam Surah al-Maidah ayat 6. Inilah hujah ulama yang mengatakan bahawa berurutan dalam berwuduk itu wajib manakala menurut Imam Malik dan Imam Abu Hanifah pula, berurutan dalam berwuduk tidak wajib.
Analisis Lafaz
Hadis dengan ungkapan amr (kata perintah) berbunyi: “Mulailah dengan apa yang dimulai oleh Allah!”
Hadis dengan ungkapan khabar (kalimat berita) berbunyi: “Kami akan memulai dengan apa yang diambil oleh Allah.”
Fiqh Hadis
Di sini dapat diambil kesimpulan bahawa kita hendaklah mengikuti susunan dan urutan seperti mana yang telah disebut oleh Allah seperti dalam berwuduk dan melaksanakan ibadah haji. Oleh yang demikian, wajib membasuh muka terlebih dahulu, kemudian anggota-anggota wuduk yang lain secara berurutan. Inilah pendapat Imam Ahmad dan Imam al-Syafi'i, sedangkan Imam Abu Hanifah dan Imam Malik tidak mewajibkan berurutan.
Periwayat Hadis
Jabir ibn 'Abdullah ibn Haram al-Anshari al-Sulami, nama panggilannya adalah Abu 'Abdurrahman al-Madani, salah seorang sahabat yang masyhur. Beliau terma-suk orang yang banyak menghafal hadis dan meriwayatkan sebanyak 1,540 hadis. Kedua-dua matanya buta ketika usianya menjelang senja. Beliau pernah mengikuti sembilan belas peperangan. Semasa Perang Badar, beliau bertugas mengangkut air dan menyebelahi Khalifah „Ali dalam Perang Shiffin. Beliau meninggal dunia di Madinah pada tahun 78 Hijriah dalam umur 74 tahun.**
Sumber: 1. Bulugh al-Maram min Adillat al-Ahkam karangan Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqalani (773 H - 852 H) 2. Subulus Salam Karangan Imam Ash-Shan'ani (w. 1182 H). 3. Ibanatul Ahkam Karangan Alawi Abbas Al-Maliki (w. 1391 H) dan Hasan Sulaiman An-Nuri. Untuk kitab Ibanatul Ahkam jilid 3 dan 4 dilanjutkan oleh Abu Abdullah bin Abd al-Salam ‘Allusy.