38 - وَعَنْهُ: «إِذَا اسْتَيْقَظَ أَحَدُكُمْ مِنْ نَوْمِهِ فَلَا يَغْمِسُ يَدَهُ فِي الْإِنَاءِ حَتَّى يَغْسِلَهَا ثَلَاثًا، فَإِنَّهُ لَا يَدْرِي أَيْنَ بَاتَتْ يَدَهُ». مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ. وَهَذَا لَفْظُ مُسْلِمٍ. (1)
__________
(1) - صحيح. رواه البخاري (162)، ومسلم (278)
35. Dan darinya ‘apabila salah seorang dari kalian bangun dari tidurnya, maka janganlah ia memasukkan tangannya ke dalam bejana sebelum ia mencucinya tiga kali, karena ia tidak tahu di mana posisi tangannya saat tidur.’ (Muttafaq alaih dan ini lafazh Muslim)
[Shahih: Al Bukhari 162, Muslim 278]
ـــــــــــــــــــــــــــــ
[سبل السلام]
Penjelasan Kalimat
Apabila salah seorang dari kalian bangun dari tidurnya, maka janganlah ia memasukkan tangannya (tidak termasuk dalam kategori ini jika memasukkan tangan dengan timba untuk mengambil air, hal itu boleh sebab tidak termasuk memasukkan tangan, diriwayatkan dengan lafazh, ‘Janganlah memasukkan’ tetapi yang dimaksud adalah memasukkan tangan ke dalam air, bukan mengambil) ke dalam bejana (tidak termasuk kolam) sebelum ia mencucinya tiga kali, karena ia tidak tahu di mana posisi tangannya saat tidur.
Tafsir Hadits
Hadits tersebut menunjukkan wajibnya mencuci tangan bagi yang bangun dari tidur, baik malam ataupun siang. Dan yang mengatakan bahwa yang dimaksud adalah tidur di malam hari adalah Imam Ahmad, berdasarkan sabdanya baatat (tidur malam), ini adalah qarinah (indikasi) maksudnya tidur pada malah hari –sebagaimana telah disebutkan- tetapi diriwayatkan dengan lafazh:
إِذَا قَامَ أَحَدُكُمْ مِنَ اللَّيْلِ....
‘apabila salah seorang kamu bangun tidur di waktu malam..’
[Shahih: Shahih Abu Daud 103]
Menurut Abu Daud dan At Tirmidzi dari jalur lain yang shahih, tetapi dapat dibantah bahwa keterangannya menunjukkan dimasukkannya tidur pada siang hari dengan tidur pada waktu malam.
Yang lainnya berpendapat –yaitu Asy-Syafi'i, Malik dan yang lainnya – bahwa perintah dalam riwayat, ‘Maka hendaklah ia mencucinya’ menunjukkan sunnah, dan larangan dalam riwayat ini adalah menunjukkan makruh. Qarinahnya adalah disebutkannya jumlah. Karena penyebutan pada najis yang tidak ada bendanya adalah dalil sunnah. Juga menjelaskan sesuatu perintah yang menimbulkan keraguan, dan keraguan tidak menunjukkan wajib dalam hukum ini. oleh karenanya, tetap mengacu pada hukum asal, yaitu suci.
Kemakruhan itu tidak dapat dihilangkan tanpa mencucinya tiga kali. Ini berlaku bagi yang bangun tidur. Adapun bagi yang hendak berwudhu tetapi tidak bangun dari tidur maka dianjurkan baginya berdasarkan hadits yang telah disebutkan pada sifat wudhu. Tidak makruh jika ditinggalkan, lantaran tidak adanya dalil yang melarangnya.
Jumhur berpendapat bahwa larangan dan perintah tersebut karena kemungkinan adanya najis di tangan. Dan jika seseorang mengetahui di mana posisi tangannya saat tidur, seperti orang yang membalut tangannya dengan kain lalu ia bangun dalam kondisi yang sama, maka tidak dimakruhkan baginya memasukkan tangannya meskipun disunnahkan mencucinya sebagaimana yang bangun tidur. Yang lainnya mengatakan perintah mencuci adalah taabudi, maka tidak ada perbedaan antara yang ragu dengan yang yakin. Dan pendapat mereka ini lebih kuat, sebagaimana yang telah berlalu.
ـــــــــــــــــــــــــــــ
[إبانة الأحكام]
وَعَنْهُ: «إِذَا اسْتَيْقَظَ أَحَدُكُمْ مِنْ نَوْمِهِ فَلَا يَغْمِسُ يَدَهُ فِي الْإِنَاءِ حَتَّى يَغْسِلَهَا ثَلَاثًا، فَإِنَّهُ لَا يَدْرِي أَيْنَ بَاتَتْ يَدَهُ». مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ. وَهَذَا لَفْظُ مُسْلِمٍ.
35. Daripadanya (Abu Hurairah), Rasulullah (s.a.w) bersabda: “Jika seseorang di antara kamu bangun tidur, maka janganlah dia mencelupkan tangannya ke dalam bekas sebelum membasuhnya terlebih dahulu sebanyak tiga kali, kerana sesungguhnya dia tidak mengetahui (menyedari) ke mana sahaja tangannya ketika tidur pada waktu malam itu.” (Muttafaq 'alaihi. Lafaz hadis ini berdasarkan riwayat Muslim)
Makna Hadis
Jika seseorang tidur, dia tentu tidak mengetahui keadaan dirinya; barangkali auratnya terbuka ketika tidur, lalu tangannya memegangnya. Syariat Islam menyuruh kita supaya membasuh kedua-dua tangan sebanyak tiga kali sebaik bangun dari tidur sebelum memasukkan tangan tersebut ke dalam bejana, lebih-lebih lagi tidur pada waktu malam hari.
Analisis Lafaz
وَعَنْهُ daripada Abu Hurairah (r.a), yakni periwayatnya sama dengan hadis sebelumnya.
فَلَا يَغْمِسُ maka janganlah dia memasukkan tangannya. Larangan ini menunjukkan hukum makruh.
لَا يَدْرِي أَيْنَ بَاتَتْ يَدَهُ Laa yadrii aina baatat yaduhu, dia tidak mengetahui barangkali tangannya memegang auratnya. Mereka biasa membuang air besar pada waktu malam hari, sedangkan pada waktu siang hari cuaca negeri mereka teramat panas. Barangkali pula tangannya berubah bau disebabkan berpeluh sehingga air menjadi berubah apabila dia tidak membasuhnya terlebih dahulu sebelum memasukkannya ke dalam bekas.
Fiqh Hadis
1. Jika najis masuk ke dalam air yang sedikit, maka air tersebut menjadi najis.
2. Wujudnya perbezaan antara masuknya air ke dalam najis dan masuknya najis ke dalam air, kerana Rasulullah (s.a.w) melarang dari memasukkan tangan orang yang baru bangun dari tidurnya ke dalam air, sebaliknya baginda menyuruh supaya mengalirkan air ke tangannya. Dengan erti kata lain, membasuhnya sebelum memasukkan tangan ke dalam bekas yang berisi air.
3. Disunatkan membasuh kedua tangan sebanyak tiga kali menurut pendapat jumhur ulama. Tetapi Imam Ahmad mengatakan wajib membasuh keduanya sebanyak tiga kali ketika bangun dari tidur. Beliau menyatakan wajib bagi orang yang tidur pada waktu malam hari kerana berlandaskan makna yang tersirat pada lafaz بَاتَتْ. Larangan ini menurut pendapat Imam Ahmad menunjukkan makna haram dan secara khusus bagi yang baru bangun dari tidur malam hari. Sedangkan menurut jumhur ulama, larangan ini hanya menunjukkan makna makruh, kerana 'illatnya ialah adanya kemungkinan terkena najis, sedangkan kemungkinan itu tidak dapat memberikan kepastian haram.
4. Sentiasa bersikap berhati-hati dan menggunakan kata-kata kiasan terhadap perkara yang dianggap malu apabila disebutkan secara terus terang. Di sini Rasulullah (s.a.w) tidak mengatakan: “Barangkali tangannya telah menyentuh dubur atau lain-lain yang seumpamanya.”
5. Disunatkan berpegang teguh dengan etika dalam mentafsirkan al-Qur'an dan hadis serta mengelakkan diri daripada perkara-perkara yang bertentangan dengan etika, seperti bercakap kotor, tidak melaksanakan perintah agama dan memperolok dalam memahami kalimat أَيْنَ بَاتَتْ يَدَهُ.
Sumber: 1. Bulugh al-Maram min Adillat al-Ahkam karangan Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqalani (773 H - 852 H) 2. Subulus Salam Karangan Imam Ash-Shan'ani (w. 1182 H). 3. Ibanatul Ahkam Karangan Alawi Abbas Al-Maliki (w. 1391 H) dan Hasan Sulaiman An-Nuri.