32 - عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ - رضي الله عنه - عَنْ رَسُولِ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - قَالَ: «لَوْلَا أَنْ أَشُقَّ عَلَى أُمَّتِي لَأَمَرْتُهُمْ بِالسِّوَاكِ مَعَ كُلِّ وُضُوءٍ». أَخْرَجَهُ مَالِكٌ, وأَحْمَدُ, وَالنَّسَائِيُّ, وَصَحَّحَهُ ابْنُ خُزَيْمَة. (1)
__________
(1) - صحيح. علقه البخاري (458/فتح) بصيغة الجزم، وعنده لفظ «عند» بدل «مع». ورواه أحمد (2/ 460 و 517)، والنسائي في «الكبرى» (298)، وابن خزيمة (140) وللحديث ألفاظ وطرق أخرى في «الصحيحين» وغيرهما، وقد ذكرتها «بالأصل».
29. Dari Abu Hurairah RA dari Rasulullah SAW, beliau bersabda: “Seandainya aku tidak ingin menyusahkan umatku, niscaya aku perintahkan mereka bersiwak pada setiap kalau wudhu.” (HR. Malik, Ahmad dan An Nasa'i, dan dishahihkan Ibnu Khuzaimah serta disebutkan Al Bukhari secara mu’allaq)
[Shahih: Malik 1/66, Al Bukhari 887 dengan maushul, Muslim 252, lafazh keduanya ‘setiap kali shalat.’
ـــــــــــــــــــــــــــــ
[سبل السلام]
Tafsir Hadits
An Nawawi berkata, “Sebagian ulama besar keliru, mereka berdalih bahwa Al Bukhari tidak meriwayatkannya.” Saya katakan, ‘Secara zhahir, tindakan penulis di sini menunjukkan bahwa salah satu dari kedua Syaikh (Al Bukhari dan Muslim) tidak meriwayatkannya, dimana ia tidak menisbatkan kepada keduanya dan menisbatkan kepada selainnya, karena yang terkenal dari kaidah para ahli hadits bahwa jika keduanya meriwayatkannya, maka mereka menisbatkan kepadanya dan tidak hanya kepada selainnya, kecuali jika memang keduanya tidak meriwayatkannya. Sementara hadits tersebut termasuk hadits Umdatul Ahkam yang di dalamnya tidak disebutkan melainkan hadits yang diriwayatkan oleh Imam Al Bukhari dan Imam Muslim, tetap dengan lafazh: ‘Setiap kali shalat.’
Yang semakna dengannya ada beberapa hadits dari beberapa orang shahabat, dari Ali RA, Ahmad dan Zaid bin Khalid menurut At Tirmidzi, dari Ummi Habibah menurut Ahmad, dari Abdullah bin Amr, Sahl bin Sa’d, Jabir dan Anas menurut Abu Nu’aim, dari Abu Ayyub menurut Ahmad dan At Tirmidzi, dan dari hadits Ibnu Abbas dan Aisyah RA menurut Muslim dan Abu Daud.
Sedang perintah bersiwak disebutkan dalam hadits:
«تَسَوَّكُوا فَإِنَّ السِّوَاكَ مَطْهَرَةٌ لِلْفَمِ»
“Bersiwaklah kalian, sesungguhnya bersiwak itu dapat menyucikan mulut.”
[* Dhaif: Ibnu Majah 289, Dhaif Targhib wa Tarhib 144, Dhaif Al Jami 2437 – ebook editor]
Dikeluarkan oleh Ibnu Majah dan padanya terdapat kelemahan, akan tetapi memiliki beberapa syahid (pendukung) yang menunjukkan bahwa perintah tersebut ada dasarnya.
Dalam beberapa hadits disebutkan bahwa:
«إنَّ السِّوَاكَ مِنْ سُنَنِ الْمُرْسَلِينَ، وَأَنَّهُ مِنْ خِصَالِ الْفِطْرَةِ، وَأَنَّهُ مِنْ الطَّهَارَاتِ، وَأَنَّ فَضْلَ الصَّلَاةِ الَّتِي يَسْتَاكُ لَهَا سَبْعُونَ ضِعْفًا»
“Bersiwak adalah sunnah para rasul, termasuk bagian dari fitrah, thaharah, dan Shalat yang ditunaikan dengan didahului bersiwak lebih utama 70 kali lipat atas shalat yang ditunaikan dan sebelumnya tidak bersiwak.” (HR. Ahmad, Ibnu Khuzaimah, Al Hakim, dan Ad Daruquthni serta yang lainnya)
[Dhaif: Dhaif Al Jami’ 3965]
Ia berkata dalam Al Badru Al Munir, “Telah disebutkan mengenai siwak lebih dari seratus hadits.” Dalam Al Badr ia berkata, “Alangkah mengherankannya Sunnah yang disebutkan dalam banyak hadits lalu diremehkan kebanyakan orang, bahkan kebanyakan para fuqaha, dan ini adalah kerugian besar.”
Saya katakan, “Ketika gigi telah hilang, juga disyariatkan, berdasarkan hadits Aisyah RA:
«قُلْت: يَا رَسُولَ اللَّهِ الرَّجُلُ يَذْهَبُ فُوهُ؛ وَيَسْتَاكُ؟ قَالَ: نَعَمْ؛ قُلْت: كَيْفَ يَصْنَعُ؟ قَالَ: يُدْخِلُ أُصْبُعَهُ فِي فَمِهِ»
‘Aku bertanya, Wahai Rasulullah SAW, seorang yang telah hilang giginya apakah ia juga bersiwak?’ beliau SAW menjawab, ‘Ya’, aku bertanya, ‘Bagaimana caranya?’ Beliau menjawab, ‘Ia memasukkan jarinya ke dalam mulutnya.’ (HR. At Thabrani dalam Al Ausath dan padanya terdapat kelemahan)
[Dhaif: Al Haitsami mendhaifkannya dalam Al Majma 2/100]
Hukumnya sunnah menurut jumhur ulama, namun ada yang berpendapat wajib. Tetapi hadits yang disebutkan dalam bab ini menunjukkan bahwa bersiwak tidak wajib, berdasarkan sabda beliau SAW dalam hadits ini, ‘Aku akan perintahkan mereka’ yaitu perintah wajib, karena sesungguhnya yang tidak diwajibkan lantaran kesulitan, bukan berarti perempuan itu sunnah karena telah ditegaskan tanpa keraguan.
Hadits tersebut menunjukkan penentuan waktunya, yaitu setiap kali wudhu. Dalam Asy Syarh disebutkan bahwa disukai pada setiap waktu, dan lebih disukai pada lima waktu, yaitu:
1. ketika akan shalat, baik bersuci dengan air maupun dengan tanah, atau tidak bersuci, seperti orang yang tidak mendapatkan air atau tanah.
2. ketika wudhu
3. ketika membaca Al Qur'an
4. ketika bangun tidur
5. ketika bau mulut berubah
Ibnu Daqiq Al Id berkata, ‘Rahasia yang terkandung padanya –yaitu bersiwak pada setiap shalat – bahwa kita diperintahkan pada setiap kondisi ketika beribadah kepada Allah SWT agar dalam kondisi yang sempurna dan suci, sebagai bentuk memuliakan ibadah.
Ada yang mengatakan bahwa perintah itu berkaitan dengan malaikat, yaitu bahwa malaikat tersebut meletakkan mulutnya pada mulut orang yang membaca Al Qur'an dan merasa terganggu dengan bau yang jelek maka disunnahkanlah siwak lantaran hal tersebut, pendapat ini cukup bagus.
Zhahirnya hadits di atas tidak mengkhususkan disukainya bersiwak bagi shalat tertentu, baik ketika sedang berpuasa maupun tidak. Asy-Syafi'i berkata, “Tidak disunnahkan bersiwak setelah matahari condong ke atas –meninggi- pada saat berpuasa, agar bau mulut yang disukai oleh Allah SWT tidak hilang.” Dapat dijawab bahwa bau mulut tersebut tidak dapat hilang dengannya, karena ia bersumber dari kosongnya lambung dan tidak dapat dihilangkan dengan bersiwak.
Kemudian, apakah disunnahkan bagi yang akan shalat meskipun ia telah berwudhu sebagaimana disebutkan hadits, ‘Pada setiap shalat.” Ada yang berpendapat bahwa disunnahkan, dan yang lain mengatakan tidak kecuali pada saat akan berwudhu, sebagaimana hadits di atas yang berbunyi, ‘Bersama setiap wudhu’, hadits ini memberikan batasan terhadap hadits yang berlaku secara mutlak yaitu ‘setiap shalat’, bahwa yang dimaksudkan adalah setiap kali wudhu untuk shalat.
Seandainya dikatakan, hendaknya memperhatikan kondisi-kondisi disyariatkannya siwak. Maka jika telah berlalu waktu yang panjang di mana bau mulut telah berubah dengan hal-hal yang dapat merubahnya, seperti makan makanan yang berbau, lama diam, banyak bicara, tidak makan dan tidak minum, ketika itu siwak disyariatkan meskipun tidak berwudhu, dan jika bau mulut dari berubah, maka tidak disyariatkan.
Perkataannya dalam mendefinisikan siwak secara isitlah, ‘Atau yang semacamnya’, yakni seperti potongan dahan. Yang mereka maksudkan adalah setiap yang dapat menghilangkan perubahan bau mulut, seperti sobekan kain, jari kasar dan air dingin, dan lebih baik jika siwak tersebut dari pohon arok dalam kondisi yang sedang, tidak terlalu kering yang dapat melukai gusi, dan tidak terlalu basah yang tidak dapat membersihkan gigi
ـــــــــــــــــــــــــــــ
[إبانة الأحكام]
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ - رضي الله عنه - عَنْ رَسُولِ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - قَالَ: «لَوْلَا أَنْ أَشُقَّ عَلَى أُمَّتِي لَأَمَرْتُهُمْ بِالسِّوَاكِ مَعَ كُلِّ وُضُوءٍ». أَخْرَجَهُ مَالِكٌ, وأَحْمَدُ, وَالنَّسَائِيُّ, وَصَحَّحَهُ ابْنُ خُزَيْمَة.
29. Daripada Abu Hurairah (r.a) daripada Rasulullah (s.a.w), baginda bersabda: “Seandainya aku tidak khuatir akan menyusahkan umatku, nescaya aku suruh mereka untuk bersiwak pada setiap kali hendak berwuduk.” (Disebut oleh Malik, Ahmad dan al-Nasa'i. Hadis ini dinilai sahih oleh Ibn Khuzaimah dan al-Bukhari menyebutnya sebagai hadis mu'allaq)
Makna Hadis
Rasulullah (s.a.w) tidak senang membebankan tugasan berat yang kepada umatnya kerana khuatir mereka tidak mampu mengerjakan apa yang diperintahkan kepada mereka. Baginda amat menyayangi umatnya dan oleh kerananya, mereka tidak diperintahkan bersiwak pada setiap kali hendak berwuduk, sekalipun bersiwak mengandungi banyak manfaat, seperti menghilangkan bau mulut, membuat bau mulut menjadi wangi, gusi menjadi kuat dan bermunajat kepada Allah (s.w.t) dalam keadaan yang paling sempurna bagi tujuan memuliakan ibadah dan menghormati malaikat yang berada di hadapannya. Selain itu, dengan bersiwak gigi menjadi bersih dan nampak putih bersinar. Nabi (s.a.w) telah mengukuhkan hukum sunat bersiwak ketika hendak berwuduk, solat, membaca al-Qur‟an, ketika bangun dari tidur dan ketika mulut berbau tidak sedap. Keutamaan bersiwak telah disebutkan dalam banyak hadis yang jumlahnya lebih dari seratus hadis. Betapa anehnya, Sunnah yang di dalamnya mengandungi keutamaan besar ini sering kali diabaikan oleh ramai orang hingga oleh orang yang mengaku dirinya terpelajar sekalipun. Mudah-mudahan Allah memberikan taufik kepada seluruh umat manusia untuk melakukan apa yang disukai dan diredhai-Nya.
Analisis Lafaz
الْوُضُوء, dengan huruf waw yang dibaca dhammah. Ia berasal dari lafaz al-wadha'ah yang bererti baik dan bersih. Diberi nama demikian kerana berwuduk dapat membersihkan orang yang melakukannya dan membuatnya kelihatan bersih serta ceria. Al-Wudhu' menurut bahasa adalah membasuh sebahagian anggota wuduk secara mutlak, sedangkan menurut syarak pula ialah membasuh anggota tubuh tertentu dengan cara yang khusus.
أَشُقَّ, berasal dari lafaz al-masyaqqah yang bererti berat. Dikatakan demikian kerana Rasulullah (s.a.w) melihat bahawa amalan bersiwak secara rutin boleh memberatkan umatnya.
لَأَمَرْتُهُمْ, nescaya aku memerintahkan mereka dengan perintah wajib, bukan perintah sunat.
بِالسِّوَاكِ, menurut bahasa ertinya suatu pekerjaan, sedangkan menurut istilah pula ialah menggunakan kayu siwak untuk membersihkan gigi supaya tidak berbau dan nampak kelihatan putih bersih.” Ia sebaiknya dilakukan dengan menggunakan kayu Araak yang sederhana, yakni tidak terlalu kering kerana boleh mengakibatkan gusi luka dan tidak pula terlampau basah kerana kayu Araak yang basah tidak dapat digunakan untuk menghilangkan apa yang hendak dibersihkan.
تعليقا, hadis mu'allaq yang keterangannya telah disebut sebelum ini dalam bahagian pendahuluan. Perkataan ini diambil daripada asal makna menggantungkan dinding untuk tujuan memutuskan hubungan.
Fiqh Hadis
1. Keutamaan memudahkan dalam perkara agama dan setiap apa yang boleh memberatkan hukumnya makruh.
2. Ungkapan perintah apabila tidak disertai qarinah-qarinah yang mengikatnya menunjukkan makna wajib.
3. Disunatkan bersiwak sebelum berwuduk. Ini merupakan Sunnah Nabi (s.a.w). Atas dasar inilah hadis siwak disebutkan dalam bab berwuduk.
4. Rasulullah (s.a.w) sangat belas kasihan kepada umatnya.
Sumber: 1. Bulugh al-Maram min Adillat al-Ahkam karangan Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqalani (773 H - 852 H) 2. Subulus Salam Karangan Imam Ash-Shan'ani (w. 1182 H). 3. Ibanatul Ahkam Karangan Alawi Abbas Al-Maliki (w. 1391 H) dan Hasan Sulaiman An-Nuri.