27 - وَعَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا, قَالَتْ: كَانَ رَسُولُ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - يَغْسِلُ الْمَنِيَّ, ثُمَّ يَخْرُجُ إِلَى الصَّلَاةِ فِي ذَلِكَ الثَّوْبِ, وَأَنَا أَنْظُرُ إِلَى أَثَرِ الْغُسْلِ فِيهِ. مُتَّفَقٌ عَلَيْه. (1)
__________
(1) - صحيح. رواه البخاري (229)، ومسلم (289) من طريق سليمان بن يسار، عن عائشة، به. واللفظ المذكور لمسلم.
28 - وَلِمُسْلِمٍ: لَقَدْ كُنْتُ أَفْرُكُهُ مِنْ ثَوْبِ رَسُولِ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - فَرْكًا, فَيُصَلِّي فِيهِ. (1)
وَفِي لَفْظٍ لَهُ: لَقَدْ كُنْتُ أَحُكُّهُ يَابِسًا بِظُفُرِي مِنْ ثَوْبِهِ. (2)
__________
(1) - صحيح. رواه مسلم (288)
(2) - مسلم (290) من طريق عبد الله بن شهاب الخولاني، قال: كنت نازلا على عائشة. فاحتملت في ثوبي، فغمستهما في الماء، فرأتني جارية لعائشة، فأخبرتها، فبعثت إلي عائشة فقالت: ما حملك على ما صنعت بثوبيك؟ قال: قلت: رأيت ما يرى النائم في منامه. قالت: هل رأيت فيهما شيئا؟ قلت: لا. قالت: فلو رأيت شيئا غسلته. لقد رأيتني، وإني لأحكه من ثوب رسول الله صلى الله عليه وسلم يابسا بظفري.
25. Dari Aisyah RA ia berkata, Rasulullah SAW mencuci mani kemudian keluar shalat dengan menggunakan kain itu, dan aku melihat bekas cucian padanya. (Muttafaq alaih)
[Shahih: Al Bukhari 230, Muslim 289]
Dan riwayat Muslim, ‘Aku pernah menggosok dari kain Rasulullah SAW lalu beliau shalat padanya.’
[Shahih: Muslim 288]
Lafazh lain: ‘aku pernah mengeruknya dalam keadaan kering dengan kuku saya dari kain beliau.’
[Shahih: Muslim 290]
ـــــــــــــــــــــــــــــ
[سبل السلام]
Biografi Perawi
Aisyah RA Ummul Mukminin binti Abu Bakar Ash Shiddiq, ibunya adalah Rauman binti Amir. Nabi SAW melamarnya di Makkah dan menikahinya pada bulan Syawal tahun kesepuluh kenabian, ketika itu ia berumur 6 tahun. Beliau melaksanakan pesta pernikahan dengannya di Madinah pada bulan Syawal tahun kedua Hijriyah, ada yang mengatakan selain itu. Beliau hidup bersamanya selama 9 tahun, Rasulullah SAW meninggal dunia ketika ia berumur 18 tahun, beliau tidak menikah dengan gadis selain dirinya. Ia minta kepada Rasulullah SAW agar diberikan kuniyah (julukan) maka beliau bersabda kepadanya, ‘Engkau dijuluki dengan putra saudara perempuanmu Abdullah bin Zubair.’ Ia seorang yang pandai dalam masalah fikih, mendalam pengetahuannya, fasih dalam berbicara, memiliki keutamaan, banyak meriwayatkan hadits dari Rasulullah SAW dan mengetahui hari-hari besar Arab dan sya’ir-sya’irnya.
Sekelompok shahabat dan tabiin meriwayatkan hadits darinya. Ada sepuluh ayat dalam surat An Nur yang turun membahas kesuciannya, Rasulullah SAW wafat di rumahnya dan dikuburkan padanya. Ia meninggal dunia di Madinah pada tahun 57 H dan ada yang mengatakan tahun 58 H, pada malam 17 Ramadhan dan dimakamkan di Baqi’. Abu Hurairah RA menshalatkannya ketika menjabat sebagai Khalifah Marwan di Madinah.
Tafsir Hadits
Hadits ini dikeluarkan oleh Al Bukhari dan Muslim dan dikeluarkan oleh Al Bukhari dari hadits Aisyah RA dengan lafazh yang berbeda-beda, dan bahwa ia mencuci mani dari kain beliau SAW, dan dalam lafazh lainnya:
وَأَثَرُ الْغَسْلِ فِي ثَوْبِهِ بُقَعُ الْمَاءِ
‘Dan bekas cucian pada kainnya terdapat percikan air.’
Lafazh lain:
فَيَخْرُجُ إلَى الصَّلَاةِ وَإِنَّ بُقَعَ الْمَاءِ فِي ثَوْبِهِ
‘Maka beliau keluar untuk mengerjakan shalat, sedang percikan air ada pada kainnya.’
Lafazh lain:
وَأَثَرُ الْغَسْلِ فِيهِ بُقَعُ الْمَاءِ
‘Dan pada bekas cucian itu terdapat percikan-percikan air.’
Lafazh lain:
ثُمَّ أَرَاهُ فِيهِ بُقْعَةً أَوْ بُقَعًا
‘Kemudian aku melihat satu atau beberapa percikan air padanya.’
Akan tetapi Al Bazzar berkata, ‘Sesungguhnya hadits Aisyah RA ini berporos pada Sulaiman bin Yasar dan ia tidak mendengar dari Aisyah RA’, pendapat ini telah terlebih dahulu disebutkan oleh Asy-Syafi'i dalam Al Umm yang ia ceritakan dari yang lainnya.
Apa yang diketahui Al Bazzar dapat dijawab, bahwa pentashihan Al Bukhari terhadap hadits itu dan persetujuan Muslim dalam menshahihkannya menunjukkan bahwa Sulaiman mendengar dari Aisyah RA, sehingga kedudukan hadits tersebut marfu.
Hadits ini dijadikan dalil bagi golongan yang mengatakan bahwa mani itu najis. Mereka adalah Al Hadawiyah, Al Hanafiyah, Malik dan satu riwayat dari Ahmad. Mereka berkata, ‘Karena yang dicuci hanyalah najis, dan dapat diqiyaskan atas kotoran badan lainnya seperti air seni dan tinja dan semuanya tumpah pada tempat pembuangan yang sama, dan semuanya adalah dari larutan makanan. Juga karena hadits yang diwajibkan mensucikannya adalah najis, dan di antaranya adalah mani, dan bahwa ia mengalir dari tempat mengalirnya air seni, maka ia harus dicuci dengan air seperti najis-najis lainnya.’
Mereka menafsirkan hadits yang akan datang ini, yaitu ucapannya ‘Dan menurut Muslim’ yaitu dari Aisyah RA ada satu riwayat yang disebutkan oleh Muslim dan tidak disebutkan oleh Al Bukhari yaitu perkataan Aisyah RA,
«لَقَدْ كُنْت أَفْرُكُهُ مِنْ ثَوْبِ رَسُولِ اللَّهِ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - فَرْكًا»
‘Sungguh aku mengeruknya dari kain Rasulullah SAW.’
(مَصْدَرٌ تَأْكِيدِيٌّ) bentuk mashdar yang menunjukkan penegasan bahwa Aisyah RA menggosok dan mengeruknya, (الْفَرْكُ) adalah (الدَّلْكُ), dikatakan (فَرَكَ الثَّوْبَ), jika ia mengeruknya.
Pada lafazh Muslim dari Aisyah RA ‘Maka ia shalat dengannya. Sungguh aku mengeruknya (yaitu mani ketika dalam kondisi) kering dengan kuku saya dari kain beliau.’ Hanya Muslim yang meriwayatkannya dengan kata (الْفَرْكِ) dan tidak diriwayatkan oleh Al Bukhari.
Al Baihaqi, Ad Daruquthni, Ibnu Khuzaimah dan Ibnu Al Jauzi juga meriwayatkan dengan lafazh (الْحَتَّ) dan (الْفَرْكِ) dari hadits Aisyah RA.
Lafazh Al Baihaqi:
«رُبَّمَا حَتَّتْهُ مِنْ ثَوْبِ رَسُولِ اللَّهِ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - وَهُوَ يُصَلِّي»
“Terkadang aku menggosoknya dari kain Rasulullah SAW ketika beliau sedang shalat.”
[Al Baihaqi 2/406]
Lafazh Ad Daruquthni dan Ibnu Khuzaimah:
«أَنَّهَا كَانَتْ تَحُتُّ الْمَنِيَّ مِنْ ثَوْبِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهُوَ يُصَلِّي»
“Bahwa sesungguhnya ia (Aisyah RA) menggosok mani dari kain Rasulullah SAW ketika beliau sedang shalat.”
[shahih Ibnu Khuzaimah 1/147]
Lafazh Ibnu Hibban:
«لَقَدْ رَأَيْتنِي أَفْرُكُ الْمَنِيَّ مِنْ ثَوْبِ رَسُولِ اللَّهِ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ -»
“Sungguh aku menggosok mani dari kain Rasulullah SAW ketika beliau sedang shalat.” Para perawinya shahih.
[Shahih Ibnu Hibban 4/219]
Mirip dengan hadits ini adalah hadits Ibnu Abbas yang diriwayatkan oleh Ad Daruquthni dan Al Baihaqi:
«سُئِلَ رَسُولُ اللَّهِ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - عَنْ الْمَنِيِّ يُصِيبُ الثَّوْبَ فَقَالَ: إنَّمَا هُوَ بِمَنْزِلَةِ الْمُخَاطِ وَالْبُصَاقِ وَالْبُزَاقِ، وَقَالَ: إنَّمَا يَكْفِيك أَنْ تَمْسَحَهُ بِخِرْقَةٍ أَوْ إذْخِرَةٍ»
Bahwa Nabi SAW ditanya tentang mani yang mengenai pakaian, maka beliau menjawab, ‘Sesungguhnya mani itu sama kedudukannya dengan ingus, ludah dan dahak.’ Dan sabdanya, ‘cukup bagimu menggosoknya dengan kain atau idzkhir.’
{Sunan Ad Daruquthni 1/124, dan ia mendha'ifkannya]
Setelah meriwayatkan hadits ini Al Baihaqi berkata, “Dan diriwayatkan oleh Waki’ dari Ibnu Abi Laila dengan mauquf atas Ibnu Abbas dan hadits ini shahih.
Mereka yang berpendapat mengenai najisnya mani menafsirkan hadits ini, bahwa maksudnya adalah menggosok dan mencucinya dengan air dan ini sangat jauh.
Asy-Syafi'iyah berkata, “Mani itu suci.” Berdasarkan hadits-hadits ini, mereka berkata, ‘Hadits-hadits perintah untuk mencucinya hanyalah menunjukkan sunnah dan mencucinya bukanlah dalil bahwa hal itu najis, boleh jadi hanyalah untuk kebersihan atau untuk menghilangkan kotoran dan semacamnya.’ Mereka berkata, “Disamakannya dengan ludah dan ingus juga dalil atas kesuciannya.” Perintah mengusapnya dengan kain atau tumbuhan adalah untuk menghilangkan kotoran yang tidak disukai jika melekat pada kain orang yang sedang shalat. Seandainya najis, niscaya tidak sah hanya dengan mengusapnya.
Adapun menyamakan mani dengan kotoran, seperti air seni dan tinja sebagaimana dikatakan oleh orang yang berpendapat mengenai najisnya mani, maka tidak boleh mengqiyaskannya jika ada nash.
Kelompok pertama mengatakan, “Hadits-hadits mengenai perintah menggosok dan menghilangkannya hanya mani Nabi SAW saja, karena kotoran-kotoran beliau SAW suci dan tidak bisa disamakan dengan yang lainnya.” Pendapat tersebut dapat dijawab bahwa Aisyah RA telah memberitahu bahwa ia mengeruknya dari kain Nabi SAW, sehingga boleh jadi mani tersebut adalah keluar karena jima’ dan telah bercampur dengan mani istrinya, maka tidak jelas bahwa hanya dari Nabi SAW semata, karena mimpi (basah) bagi para nabi itu adalah satu hal yang tidak mungkin, sebab itu adalah dari setan, sementara setan tidak dapat menundukkan mereka. Jika dikatakan bahwa bisa saja hanya mani Nabi SAW, dan hanya syahwat yang melimpah setelah didahului oleh hal-hal yang menyebabkannya keluar, seperti bercumbu dengan istri dan sebagainya, tidak dicampuri oleh yang lainnya, maka hal tersebut adalah kemungkinan yang tidak dapat dijadikan sebagai dalil.
Al Hanafiyah berpendapat najisnya mani beliau seperti yang lainnya, akan tetapi mereka berkata, “Dapat disucikan dengan mencuci, menggosok atau menghilangkannya dengan kain dan idzkhir berdasarkan dua hadits di atas.” antara dua kelompok tersebut, yaitu yang berpendapat mengenai najisnya mani dan yang berpendapat sucinya mani terjadi perdebatan dan diskusi yang sangat panjang dan telah kami paparkan pada catatan kaki Syarh Al Umdah.
ـــــــــــــــــــــــــــــ
[إبانة الأحكام]
وَعَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا, قَالَتْ: كَانَ رَسُولُ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - يَغْسِلُ الْمَنِيَّ, ثُمَّ يَخْرُجُ إِلَى الصَّلَاةِ فِي ذَلِكَ الثَّوْبِ, وَأَنَا أَنْظُرُ إِلَى أَثَرِ الْغُسْلِ فِيهِ. مُتَّفَقٌ عَلَيْه.
وَلِمُسْلِمٍ: لَقَدْ كُنْتُ أَفْرُكُهُ مِنْ ثَوْبِ رَسُولِ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - فَرْكًا, فَيُصَلِّي فِيهِ. (1)
وَفِي لَفْظٍ لَهُ: لَقَدْ كُنْتُ أَحُكُّهُ يَابِسًا بِظُفُرِي مِنْ ثَوْبِهِ. (2)
Daripada 'Aisyah (r.a), beliau berkata: “Rasulullah (s.a.w) sering kali membasuh (bekas) air mani, kemudian baginda keluar untuk mengerjakan solat dengan memakai baju (yang padanya terdapat bekas air mani yang sudah dibasuh itu) dan saya melihat masih ada bekas kesan basah cucian itu.” (Muttafaq 'alaih)
Menurut riwayat oleh Muslim pula: “Sesungguhnya saya pernah mengorek (kesan air mani) yang ada pada pakaian Rasulullah (s.a.w) dengan kuat, lalu baginda mengerjakan solat dengan tetap memakai baju itu.”
Menurut riwayat yang lain pula: “Sesungguhnya saya menggaruknya (kesan air mani itu) dalam keadaan sudah kering dengan kuku supaya tanggal dari pakaiannya.”
Makna Hadis
Allah (s.w.t) memuliakan umat manusia dan mengutamakannya ke atas seluruh makhluk yang lain dengan menjadikan suci asal kejadiannya dan mulia asal penciptaannya. 'Aisyah Ummu al-Mu'minin telah menceritakan bahawa beliau pernah mengorek kesan air mani yang ada pada pakaian Rasulullah (s.a.w) dengan kukunya.
Analisis Lafaz
الْمَنِيَّ air mani lelaki adalah berwarna putih agak kental. Ia memancut-mancut ketika keluar apabila nafsu telah mencapai kemuncaknya disertai perasaan tegang dan nikmat pada lelaki berkenaan. Baunya mirip dengan bau tandan muda buah kurma atau hampir sama dengan bau adunan.
أَفْرُكُهُ aku mengoreknya hingga hilang dan tidak ada lagi kesannya.
فَرْكًا masdar yang maknanya mengukuhkan fi'il-nya untuk menunjukkan kesungguhan perbuatan.
أَحُكُّهُ al-hakk maknanya sama dengan al-fark, iaitu mengorek atau mengerik untuk menghilangkan kesan sesuatu yang kering.
Fiqh Hadis
Mencuci bekas air mani ialah apabila masih dalam keadaan basah, namun apabila sudah kering, maka memadai dengan cara mengoreknya. Ulamak berbeza pendapat mengenai air mani ini. Abu Hanifah berserta murid-muridnya, Imam Malik dan salah satu riwayat daripada Imam Ahmad mengatakan bahawa air mani itu najis.
Mereka berkesimpulan demikian berlandaskan kepada riwayat-riwayat yang mengatakan ia wajib dicuci dan demikian pula hadis 'Ammar yang mengatakan bahawa sesungguhnya kamu mesti mencuci pakaianmu jika terkena berak, kencing, mani, darah dan muntah. Di samping itu, mereka turut mengqiaskan air manis dengan dengan segala sesuatu benda yang menjijikkan, kerana ia melalui proses penghadaman dan merupakan sari makanan yang telah diproses di dalam perut. Mani dianggap najis menurut mereka kerana setiap hadas yang mewajibkan seseorang bersuci diri daripadanya adalah najis, sedangkan air mani merupakan salah satu daripadanya. Alasan lain air mani itu najis kerana ia keluar melalui jalur yang sama dengan tempat keluar air kencing.
Imam Malik mentakwilkan hadis yang mengatakan mengoreknya bahawa itu dilakukan dengan menggunakan air. Manakala mengorek bekas air mani yang dilakukan oleh Aisyah untuk menghilangkannya dari pakaian Nabi (s.a.w) barangkali baginda sendiri tidak mengetahui apa yang dilakukan „Aisyah atau kerana air mani Nabi (s.a.w) dianggap suci yang merupakan keistimewaan bagi baginda.
Imam Abu Hanifah mengatakan bahawa bekas air mani hendaklah dicuci dengan air apabila masih basah, tetapi apabila telah kering, maka sudah memadai dengan cara mengoreknya sahaja. Ini bertujuan untuk mengamalkan kedua-dua hadis di atas. Kes ini disamakan dengan selipar yang terkena najis.
Menurut mazhab Imam al-Syafi'i, ulamak hadis dan Imam Ahmad dalam salah satu yang paling sahih daripadanya pula bahawa air mani itu suci. Mereka mengambil kesimpulan demikian kerana berlandaskan kepada hadis Ibn „Abbas (r.a) yang menceritakan bahawa:
«سُئِلَ رَسُولُ اللَّهِ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - عَنْ الْمَنِيِّ يُصِيبُ الثَّوْبَ فَقَالَ: إنَّمَا هُوَ بِمَنْزِلَةِ الْمُخَاطِ وَالْبُصَاقِ وَالْبُزَاقِ، وَقَالَ: إنَّمَا يَكْفِيك أَنْ تَمْسَحَهُ بِخِرْقَةٍ أَوْ إذْخِرَةٍ»
“Rasulullah (s.a.w) pernah ditanya mengenai air mani yang terkena pakaian lalu baginda bersabda: “Sesungguhnya air mani itu sama kedudukannya dengan hingus, kahak dan ludah.” Rasulullah (s.a.w) melanjutkan sabdanya: “Sesungguhnya sudah memadai bagimu dengan mengusapnya dengan kain atau idzkhir.” (Disebut oleh al-Daruquthni dan al-Baihaqi)
Menyerupakan air mani dengan hingus dan ludah menunjukkan bahawa air mani itu suci. Adapun perintah untuk mengelapnya dengan kain atau sabut idzkhir, maka itu bertujuan untuk menghilangkan kotoran yang tidak patut dikekalkan pada pakaian yang hendak dipakai untuk mengerjakan solat.
Periwayat Hadis
Aisyah binti Abu Bakar al-Siddiq, wanita yang telah dibebaskan oleh Allah daripada tohmahan dusta yang ditujukan ke atas dirinya. Beliau adalah salah seorang Ummu al-Mu'minin. Nabi (s.a.w) tidak pernah berkahwin dengan wanita dara selain dia. Beliau sangat dicintai oleh Rasulullah (s.a.w). Beliau pun seorang wanita ahli fiqh. Seluruh hadis yang diriwayatkannya berjumlah 2,210. Beliau berpuasa sepanjang tahun setelah Nabi (s.a.w) wafat. Hisyam ibn 'Urwah mengatakan bahawa Aisyah meninggal dunia pada tahun 57 Hijrah dan dikebumikan di al-Baqi'. ***
Sumber: 1. Bulugh al-Maram min Adillat al-Ahkam karangan Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqalani (773 H - 852 H) 2. Subulus Salam Karangan Imam Ash-Shan'ani (w. 1182 H). 3. Ibanatul Ahkam Karangan Alawi Abbas Al-Maliki (w. 1391 H) dan Hasan Sulaiman An-Nuri.