25 - وَعَنْهُ قَالَ: لَمَّا كَانَ يَوْمُ خَيْبَرَ, أَمَرَ رَسُولُ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - أَبَا طَلْحَةَ, فَنَادَى: [ص:13] «إِنَّ اللَّهَ وَرَسُولَهُ يَنْهَيَانِكُمْ عَنْ لُحُومِ الْحُمُرِ [الْأَهْلِيَّةِ] , فَإِنَّهَا رِجْسٌ». مُتَّفَقٌ عَلَيْه. (1)
__________
(1) - صحيح. رواه البخاري (2991)، ومسلم (1940) من طريق محمد بن سيرين، عن أنس به. وزاد مسلم: «من عمل الشيطان».
23. Dan darinya (Anas bin Malik) ia berkata, “Pada waktu terjadi perang Khaibar, Rasulullah SAW menyuruh Abu Thalhah menyerukan, ‘Sesungguhnya Allah dan Rasul-Nya melarang kalian makan daging keledai negeri (piaraan), karena sesungguhnya dia itu najis.” (Muttafaq alaih)
[Shahih: Al Bukhari 2991, Muslim 1802]
ـــــــــــــــــــــــــــــ
[سبل السلام]
Tafsir Hadits
Hadits Anas dalam Shahih Al Bukhari,
«أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - جَاءَهُ جَاءٍ فَقَالَ: أَكَلْت الْحُمُرَ، ثُمَّ جَاءَهُ جَاءٍ فَقَالَ: أَكَلْت الْحُمُرَ، ثُمَّ جَاءَهُ جَاءٍ فَقَالَ: أَفْنَيْت الْحُمُرَ، فَأَمَرَ مُنَادِيًا يُنَادِي: إنَّ اللَّهَ وَرَسُولَهُ يَنْهَيَانِكُمْ عَنْ لُحُومِ الْحُمُرِ الْأَهْلِيَّةِ فَإِنَّهَا رِجْسٌ، فَأُكْفِئَتْ الْقُدُورُ وَإِنَّهَا لَتَفُورُ بِالْحُمُرِ»
“Bahwa seseorang mendatangi Rasulullah SAW lalu berkata, ‘Keledai telah dimakan’, kemudian datang yang lainnya dan berkata, ‘Keledai telah dimakan’, kemudian datang yang lainnya lagi lalu berkata, ‘Keledai telah musnah’. Maka Rasulullah SAW memerintahkan seseorang agar menyerukan, ‘Sesungguhnya Allah dan Rasul-Nya melarang kalian makan daging keledai negeri (piaraan) karena sesungguhnya dia najis.’ Maka panci-pancipun dibalikkan dalam keadaan sedang mendidih dengan daging’.”
[Shahih: Al Bukhari 4199]
Larangan dari daging keledai negeri (piaraan) ditegaskan dalam hadits dari Ali RA, Ibnu Umar, Jabir bin Abdullah, Ibnu Abi Aufa, al Barra, Abu Tsalabah, Abu Hurairah RA, Irbadh bin Sariyah, Khalid bin Al Walid, Amr bin Syu’aib dari ayahnya dari kakeknya, Miqdam bin Ma’dikarib dan Ibnu Abbas, semuanya ditegaskan dalam buku-buku induk Islam. Dan telah disebutkan para perawinya dalam Asy Syarh.
Hadits tersebut menunjukkan haramnya daging keledai negeri (piaraan). Keharamannya adalah pendapat jumhur shahabat, tabiin dan para ulama setelah mereka berdasarkan dalil-dalil di atas.
Sedang Ibnu Abbas berpendapat bahwa daging keledai piaraan tidak haram, disebutkan dalam Shahih Al Bukhari hadits darinya:
لَا أَدْرِي أَنَهَى عَنْهَا مِنْ أَجْلِ أَنَّهَا كَانَتْ حَمُولَةَ النَّاسِ أَوْ حُرِّمَتْ؟
‘Aku tidak tahu apakah ia dilarang karena digunakan untuk mengangkut beban manusia ataukah diharamkan?’
[Shahih: Al Bukhari 4198]
Tidak diragukan lagi kelemahan pendapat ini, karena asal setiap larangan adalah menunjukkan keharaman meskipun kita tidak mengetahui Illatnya.
Ibnu Abbas berdalil dengan firman Allah SWT:
قُلْ لا أَجِدُ فِي مَا أُوحِيَ إِلَيَّ مُحَرَّمًا
Katakanlah: "Tiadalah aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaKu, sesuatu yang diharamkan (QS. Al-An'am [6]: 145),
Karena dia membacanya sebagai jawaban atas orang yang bertanya kepadanya tentang keharamannya, dan berdasarkan hadits Abu Daud, bahwa Ghalib bin Abjar datang kepada Rasulullah SAW lalu bertanya, ‘Wahai Rasulullah SAW, kami telah ditimpa paceklik, aku tidak memiliki harta untuk memberi makan keluargaku kecuali samin dan keledai, dan sesungguhnya engkau telah mengharamkan daging keledai negeri (piaraan), maka beliau SAW menjawab:
أَطْعِمْ أَهْلَكَ مِنْ سَمِينِ حُمُرِك فَإِنَّمَا حَرَّمْتهَا مِنْ أَجْلِ جَوَّالِ الْقَرْيَةِ
“Berilah makan keluargamu dari samin dan keledaimu, karena sesungguhnya aku mengharamkannya lantaran ia memakan kotoran di kampung.”
[Isnadnya Dhaif: Dhaif Abu Daud 3809]
Maksudnya yang memakan al Jullah, yaitu kotoran.
Pendapat tersebut dapat dijawab bahwa ayat di atas dikhususkan keumumannya oleh hadits-hadits shahih yang telah lalu, dan bahwa hadits Abu Daud mudhtharib banyak diperdebatkan. Dalam As-Sunan [Al Kubro 9/332 -ed], setelah menyebutkan haditsnya, Al Baihaqi berkata, “Sanadnya diperdebatkan.” Ia berkata, “Hadits yang sepertinya tidak bertentangan dengan hadits-hadits shahih dan jika shahih dapat mengandung makna memakannya ketika darurat, sebagaimana yang ditunjukkan perkataannya, ‘kami telah ditimpa paceklik’, yaitu penderitaan.
Saya katakan, “Adapun alasan bahwa hal itu diperbolehkan ketika darurat, maka tidak sesuai dengan penjelasan sabda beliau, ‘aku mengharamkannya lantaran ia memakan kotoran di kampung’, karena sesungguhnya beliau SAW membolehkan makan daging keledai, dan jika tidak makan kotoran maka hukumnya halal secara mutlak, sehingga tidak sempurna beralasan dengan darurat.
Penulis menyebutkan kedua hadits ini dalam bab najis, pengulangannya menunjukkan bahwa pengharaman sesuatu lazimnya karena najis, ini adalah pendapat mayoritas. Terjadi perbedaan pendapat padanya. Sedangkan yang benar adalah bahwa pada dasarnya semua benda itu suci dan pengharaman tidaklah selamanya karena najis, sebab ganja itu haram tetapi suci zatnya. Demikian pula segala macam bentuk yang memabukkan dan racun mematikan, tidak ada dalil mengenai kenajisannya.
Adapun najis, selamanya disertai dengan keharaman, maka setiap najis haram dan tidak demikian sebaliknya. Hal itu karena hukum pada setiap najis adalah larangan menyentuhnya dalam kondisi bagaimanapun, dan hukum mengenai kenajisan zat bendanya merupakan hukum atas keharamannya. Berbeda dengan hukum yang haram, sebab diharamkan memakai sutera dan emas sedangkan keduanya suci sebagai ketetapan syariat dan ijma.
Jika hal ini telah Anda ketahui, maka pengharaman arak dan keledai negeri (piaraan) yang telah disebutkan oleh nash-nash tidak berarti bahwa itu najis, tetapi harus ada dalil lain atasnya, jika tidak, maka kita tetap pada hukum asal yang telah disepakati yaitu suci, maka siapa yang mengklaim selainnya, hendaklah ia mendatangkan dalil.
Demikian pula kami katakan, “Tidak perlu penulis menyebutkan hadits Amru bin Kharijah untuk dijadikan dalil atas sucinya air liur hewan kendaraan.” Adapun mengenai bangkai, maka seandainya tidak diriwayatkan hadits, ’Menyamak kulit menjadikannya suci’ dan hadits ’Kulit apa saja yang disamak maka sungguh ia telah suci’ niscaya kami berpendapat bahwa ia suci, karena yang disebutkan dalam Al Qur'an adalah keharaman memakannya, akan tetapi kami menghukuminya najis karena tidak ada dalil selain dalil keharamannya.
ـــــــــــــــــــــــــــــ
[إبانة الأحكام]
وَعَنْهُ قَالَ: لَمَّا كَانَ يَوْمُ خَيْبَرَ, أَمَرَ رَسُولُ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - أَبَا طَلْحَةَ, فَنَادَى: [ص:13] «إِنَّ اللَّهَ وَرَسُولَهُ يَنْهَيَانِكُمْ عَنْ لُحُومِ الْحُمُرِ [الْأَهْلِيَّةِ] , فَإِنَّهَا رِجْسٌ». مُتَّفَقٌ عَلَيْه
23. Daripadanya (Anas (r.a), beliau: “Ketika Perang Khaibar, Rasulullah (s.a.w) menyuruh Abu Thalhah (untuk menyampaikan pengumuman kepada kaum muslimin). Maka berserulah Abu Thalhah: “Sesungguhnya Allah dan Rasul-Nya telah melarang kamu dari makan daging keldai kampung, kerana ia najis.” (Muttafaq 'alaih)
Makna Hadis
Hukum mentaati Rasulullah (s.a.w) adalah wajib berdasarkan nash al-Qur'an. Betapa Rasulullah (s.a.w) amat mengambil berat tentang ajaran Islam di mana baginda ingin menyampaikannya kepada segenap umat manusia dengan kadar yang segera. Untuk itu, baginda memerintahkan seorang juru penyeru supaya segera menyampaikan kepada seluruh umat manusia apa-apa yang wajib diikuti dalam benda-benda yang haram dimakan seperti haram memakan daging keldai kampung, sebab daging keldai kampung itu najis. Seruan ini didengar oleh seluruh kaum muslimin dan mereka terpaksa menumpahkan isi periuk mereka dan membasuhnya kalau-kalau masih ada lagi saki baki daging keldai yang sudah dimasak. Hal ini dilakukan demi mentaati perintah Allah dan Rasul-Nya di samping yakin dengan apa yang telah dijanjikan oleh Allah (s.a.w) kepada mereka berupa pahala yang kekal abadi di dalam syurga 'Adn.
Analisis Lafaz
وَعَنْهُ, dhamir yang terdapat pada lafaz 'anhu ini merujuk kepada Anas ibn Malik (r.a), periwayat hadis ini sama dengan hadis sebelumnya.
“Khaibar”, perang Khaibar adalah perang yang terjadi pada tahun ke-7 Hijrah. Khaibar adalah nama sebuah bandar yang jaraknya sejauh lapan bard dari Madinah bagi orang yang menuju ke negeri Syam. Khaibar ertinya “benteng” dalam bahasa Ibrani.
“Abu Thalhah” adalah Zaid ibn Sahl ibn al-Aswad ibn Haram ibn 'Amr al-Najjar al-Madani. Beliau turut menyertai perang Badar dan peperangan yang lain. Dalam perang Hunain, beliau berjaya membunuh dua puluh orang dari pasukan musuh dan memiliki jasa yang besar dalam Perang Uhud. Beliau termasuk sahabat yang terawal dan meriwayatkan sebanyak 92 hadis. Anak lelakinya bernama 'Abdullah, Anas dan sekumpulan sahabat yang lain telah mengambil riwayat daripadanya. Beliau hidup selama empat puluh tahun sesudah Nabi (s.a.w) wafat. Selama itu pula beliau tidak pernah tidak berpuasa kecuali Hari Raya Aidilfitri dan Hari Raya Aidiladha, sedangkan pada zaman Nabi (s.a.w) beliau tidak pernah puasa sunat lantaran terlampau sibuk dengan peperangan.
ينهاكم, dengan memakai bentuk mufrad kerana dhamir yang ada di dalamnya dianggap sudah memadai yang kembali kepada perkataan Allah dan Rasul-Nya, sedangkan menurut riwayat yang lain pula fa'il lafaz yanha berbentuk mutsanna, iaitu يَنْهَيَانِكُمْ kerana dhamir yang ada di dalamnya kepada Allah dan Rasul-Nya.
الْحُمُرِ bentuk jamak dari lafaz الحمار, ertinya keldai. Apapun, makna yang dimaksudkan di sini ialah keldai kampung. Hukum nasakh pengharaman daging keldai telah terjadi berulang kali, hingga akhirnya ditetapkan bahawa termasuk haiwan yang dagingnya haram dimakan. Masalah lain di mana hukum nasakh terjadi berulang kali ialah masalah kiblat, nikah mut'ah serta berwuduk dengan menggunakan air yang dipanaskan dengan panasnya api. Sehubungan ini al-Suyuti bersyair: Ada empat perkara yang mana hukum nasakh berlaku berulang kali seperti mana yang ditegaskan oleh al-Qur'an mahupun hadis. Keempat-empat perkara itu adalah masalah kiblat, nikah mut'ah, daging keldai dan berwuduk dengan air yang dipanaskan dengan panasnya api.”
رِجْسٌ, najis. Perkataan ini sebagai penjelasan mengapa daging keldai kampung itu diharamkan.
Fiqh Hadis
1. Disyariatkan membuat pengumuman untuk memaklumkan perkara penting seperti hukum-hakam dan perkara-perkara penting yang lain.
2. Haram memakan daging keldai kampung.
3. Sembelihan tidak dapat menyucikan haiwan yang tidak halal dimakan.
4. Wajib mencuci bekas yang terkena najis ketika hendak diguna pakai.
5. Keldai liar halal diburu dan halal dimakan.