Doa Khusus dalam Shalat Jenazah Bayi atau Anak-anak
Menshalatkan merupakan bagian dari serangkaian kewajiban orang hidup terhadap orang yang telah meninggal. Sebagaimana diketahui, praktiknya terdiri dari empat takbir, dimana takbir pertama membaca surat al-Fatihah, takbir kedua membaca shalawat, takbir ketiga dan keempat mendoakan dan memohonkan ampunan baginya.
Hanya saja ada sedikit perbedaan jika yang dishalatkan adalah jenazah janin keguguran yang sudah bernyawa, jenazah bayi, atau jenazah anak-anak yang belum dewasa. Terlebih, jenazah anak-anak yang meninggal sebelum taklif sesungguhnya adalah satu keistimewaan karena merupakan simpanan kebaikan dan pemberi syafaat bagi kedua orang tuanya kelak di akhirat.
Dimulai dari niat shalatnya. Jika biasanya menggunakan niat:
أُصَلِّى عَلَى هَذَا الْمَيِّتِ/هَذِهِ الْمَيِّتَةِ أَرْبَعَ تَكْبِيْرَات فَرْضَ الْكِفَايَةِ للهِ تَعَالَى
Artinya, “Saya berniat menshalati mayat ini sebanyak empat kali takbir sebagai fardhu kifayah karena Allah. “
maka niat shalat jenazah bayi atau jenazah anak ditambahkan menjadi:
أُصَلِّى عَلَى هَذَا الْمَيِّتِ اَلطِّفْلِ/هَذِهِ الْمَيِّتَةِ الطِّفْلَةِ أَرْبَعَ تَكْبِيْرَات فَرْضَ الْكِفَايَةِ للهِ تَعَالَ
Artinya, “Saya berniat menshalati mayat anak ini sebanyak empat kali takbir sebagai fardhu kifayah karena Allah.”
Kemudian melaksanakan takbir pertama yang dilanjutkan dengan bacaan surat al-Fatihah. Usai membaca surat al-Fatihah, kemudian melaksanakan takbir kedua dilanjutkan dengan bacaan shalawat ibrahimiyyah yang sudah masyhur:
اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ .....
Selanjutnya takbir ketiga dilanjutkan dengan bacaan doa. Jika biasanya membaca doa berikut:
اللَّهُمَّ اغْفِرْ لَهُ، وَارْحَمْهُ، ....
Maka doa tersebut ditambahkan atau digantikan dengan doa yang dicontohkan Rasulullah saw., sebagaimana yang diriwayatkan oleh at-Tirmidzi dari Abu Hurairah. (Lihat: al-Imam an-Nawawi, Raudhatut-Thalibin, jilid II, halaman 127; lihat pula: Syarh al-Muhadzdzab, jilid V, halaman 238).
اللَّهُمَّ اغْفِرْ لِحَيِّنَا وَمَيِّتِنَا وَشَاهِدِنَا وَغَائِبِنَا وَصَغِيرِنَا وَكَبِيرِنَا وَذَكَرِنَا وَأُنْثَانَا اللَّهُمَّ مَنْ أَحْيَيْتَهُ مِنَّا فَأَحْيِهِ عَلَى الْإِسْلَامِ وَمَنْ تَوَفَّيْتَهُ مِنَّا فَتَوَفَّهُ عَلَى الْإِيمَانِ
Artinya, “Ya Allah, ampunilah orang hidup di antara kami, orang yang meninggal di antara kami, orang yang hadir di antara kami, orang yang tidak hadir di antara kami, anak kecil di antara kami, orang dewasa di antara kami, kaum laki-laki di antara kami dan kaum perempuan di antara kami. Ya Allah, siapa saja yang Kauhidupkan di antara kami, maka hidupkanlah dalam keadaan beragama Islam dan siapa saja yang Kauwafatkan di antara kami, maka wafatkanlah dalam keadaan beriman.”
Selanjutnya ditambahkan doa berikut:
اللَّهُمَّ اجْعَلْهُ فَرَطًا لِأَبَوَيْهِ وَسَلَفًا وَذُخْرًا وَعِظَةً وَاعْتِبَارًا وَشَفِيعًا وَثَقِّلْ بِهِ مَوَازِينَهُمَا وَأَفْرِغْ الصَّبْرَ عَلَى قُلُوبِهِمَا، وَلَا تَفْتِنْهُمَا بَعْدَهُ وَلَا تَحْرِمْهُمَا أَجْرَهُ
Artinya, “Ya Allah, jadikanlah anak ini sebagai pendahulu dan pelopor kedua orang tuanya, juga sebagai simpanan, dan nasihat, serta menjadi pelajaran dan pemberi syafaat kelak bagi keduanya. Dengannya, beratkan timbangan amal kedua orang tuanya, curahkan kesabaran ke dalam hati keduanya, jangan jadikan fitnah kepada keduanya setelah kematiannya, jangan halangi keduanya dari pahalanya.” (Lihat: Imam An-Nawawi, Raudhatut-Thalibin, jilid II, halaman 127).
Setelah itu melaksanakan takbir keempat dilanjutkan dengan doa mayit yang sudah masyhur di kalangan kaum Muslimin, yaitu:
اللَّهُمَّ لَا تَحْرِمْنَا أَجْرَهُ وَلَا تَفْتِنَّا بَعْدَهُ ....
Terakhir, shalat jenazah ditutup dengan salam. Selain dalam shalat jenazah, doa khusus jenazah anak ini juga tidak ada salahnya jika diperbanyak di luar shalat jenazah. Wallahu a’lam.
Ustadz Tatam Wijaya, alumnus Pondok Pesantren Raudhatul Hafizhiyyah Sukaraja-Sukabumi, Pengasuh Majelis Taklim “Syubbanul Muttaqin” Sukanagara-Cianjur, Jawa Barat.
Sumber: nu.or.id
Perlukah Memandikan Jenazah Bayi?
Oleh: Ustadz Zaenal Karomi
Tajhiz Mayyit merupakan fardhu kifayah bagi seorang muslim, yang meliputi memandikan, mengkafani, menshalati, dan menguburkan. Demikian ini jika si mayit bukan termasuk orang yang mati syahid, dan bayi prematur (as siqtu/janin bayi yang gugur dari perut ibunya sebelum sempurnanya janin tersebut baik itu laki-laki maupun perempuan). Lalu, bagaimana dengan anak kecil yang baru lahir meninggal. Apakah perlu dimandikan dan sebagainya?
Dengan demikian bayi tersebut harus dimandikan seperti orang meninggal pada umumnya. Berbeda dengan bayi prematur yang meninggal, dalam kasus ini apabila bayi tersebut diketahui tanda-tanda kehidupan seperti bergerak, menangis, dan sejenisnya, maka wajib dimandikan seperti biasanya. Sedangkan, bayi prematur yang tidak diyakini adanya kehidupan pada dirinya seperti saat kelahiran tidak bergerak, bersuara dan sejenisnya, serta kegugurannya belum sampai pada batas tertiupnya ruh pada dirinya (dalam kandungan usia 4 bulan keatas) maka ulama sepakat ia tidak dishalati, dan tidak dimandikan menurut pendapat yang dijadikan madzhab dikalangan syafi’iyyah karena hukum memandikan lebih ringan ketimbang menshalatkan.
Keterangan tersebut dijelaskan pada kitab-kitab fikih mu’tabarah salah satunya dalam Fiqh al Islami wa adillahutu karangan Syaikh Wahbah Zuhaili halaman Juz 2 halaman 609 sebagai berikut:
إن الفقهاء اتفقوا على وجوب غسل السقط إن خرج حياً واستهل، ويصلى عليه. فإن لم تظهر عليه أمارات الحياة غسل وكفن ودفن مطلقاً عند الحنفية،وعند الشافعية إن بلغ أربعة أشهر، ولم يصل عليه. ويغسل ويصلى عليه عند الحنابلة إذا ولد لأكثر من أربعة أشهر، فالشافعية والحنابلة متفقون على عدم غسله قبل أربعة أشهر.
Para Ahli Fiqh sepakat bahwa wajib memandikan as siqtu (bayi prematur) apabila saat kelahiran menunjukan tanda kehidupan dan menangis, dan baginya wajib dishalati. Menurut ulama madzhab Hanafi, apabila tidak jelas tanda-tanda kehidupan pada bayi tersebut maka wajib dimandikan (untuk memulyakan kepada Bani Adam), dikafani, dan dimakamkan. Sedangkan menurut ulama madzhab Syafi’i, apabila mencapai usia 4 bulan maka tidak dishalati. Dan menurut ulama madzhab Hanafi bayi tersebut dishalati apabila lahir lebih dari usia 4 bulan. Selain itu, ulama madzhab Syafi’i dan hanbali sepakat tidak memandikan sebelum umur 4 bulan. Wallahu ‘alam.
Sumber: tebuireng.online
Kewajiban Shalat (Jenazah) Kepada Anak-anak, Meskipun Meninggalnya Beberapa Jam Setelah melahirkan
Ya, diwajibkan menshalati jenazah anak-anak yang mati sebelum berumur baligh. Meskipun kematiannya langsung setelah melahirkan. Imam Nawawi rahimahullah berkata, “Adapun bayi, maka mazhab kami dan mazhab mayoritas ulama salaf dan kholaf adalah wajib menshalatinya. Ibnu Munzir mengutip ijmak (consensus) atas hal itu. Ulama kalangan mazhab kami meriwayatkan dari Said bin Jubair bahwa beliau mengatakan, “(Anak kecil) tidak dishalati (jenazah) selagi belum baligh." Akan tetapi hampir semua ulama tidak menyetujuinya.
Diriwayatkan dari Al-Abdari dari sebagian para ulama bahwa beliau mengatakan, “Kalau (anak) itu telah melakukan shalat, maka dia dishalatkan. Kalau belum (shalat), maka tidak dishalatkan. Ini juga tertolak dan menyalahi mayoritas ulama (syadz). Berdasarkan keumuman nash yang ada terkait perintah melakukan shalat (jenazah) kepada seluruh umat Islam. Dan (anak) masuk dalam keumuman umat Islam.
Dari Mughiroh bin Syu’bah radhiallahu anhu sesungguhnya Rasulullah sallallahu’alaihi wa sallam bersabda:
الراكب خلف الجنازة ، والماشي حيث شاء منها ، والطفل يصلى عليه (رواه أحمد والنسائي والترمذي، وقال حديث حسن صحيح)
“Orang yang naik kendaraan hendaknya berada di belakang jenazah, orang yang berjalan terserah (dimana saja), dan anak kecil dishalatkan atasnya.” HR. Ahmad, Nasa’i, Tirmizi dan mengatakan hadits hasan shahih.” (Syarh Al-Muhadzab, 5/217)
Dari Malik dari Yahya bin Said sesungguhnya beliau mengatakan, saya mendengar Said bin Musyayyib berkata, “Saya shalat (jenazah) di belakang Abu Hurairah terhadap bayi yang belum pernah berbuat dosa sama sekali."
Ibnu Abdul Bar rahimahullah mengatakan, “Dalam hadits ini ada fiqihnya, shalat (jenazah) kepada anak-anak. Dan ini pendapat mayoritas ahli ilmu. Yang berbeda adalah syadz (menyalahi mayoritas ulama).” (Al-Istidzkar, 3/38)
Kalau anak-anak meninggal dunia dan telah dikubur sebelum disholati, maka dishalati di atas kuburannya. Kalau tidak memungkinkan, maka dilakukan shalat gaib atasnya. Ibnu QUdamah rahimahullah mengatakan, “Kalau telah dikubur sebelum dishalatkan, maka menurut pendapat Ahmad dikeluarkan lagi dan dishalati. Tapi menurutnya juga, kalau dishalati di atas kuburannya dibolehkan. Al-Qadhi memilih bahwa dia di sholati di atas kubur tanpa dikeluarkan. Dan ini adalah mazhab Abu Hanifah dan Syafi’i." (Al-Mughni, 2/217)
Syekh Ibnu Utsaimin rahimahullah ditanya, “Seorang wanita menggugurkan janin anaknya yang berusia tujuh bulan dan telah terbentuk. Kondisi wanita ini sakit sampai dia tidak mampu menggendong anak. Didekatnya juga tidak ada seorangpun yang dapat diminta untuk membawa anak dan menguburkannya. Sehingga dia pulang ke tempat tinggalnya dan meninggalkan (mayat). Di pagi hari, dia berusaha berjalan ke tempat pengguguran anaknya, namun didapatinya telah dimakan oleh srigala dan anjing. Wanita tersebut sekarang hidup dalam kondisi gelisah dan linglung dari permasalahannya, takut dengan hukuman dari kejadian tersebut. Berharap dapat arahan apa yang seharusnya dia lakukan. Apakah dia berdosa akan hal itu dan apa tebusannya? "
Beliau menjawab, “Tidak diragukan lagi bahwa kehormatan orang muslim ketika meninggal dunia, sama dengan ketika masih hidup. Dan seharusnya dia tidak dibolehkan melakukan prilaku seperti ini. Selayaknya bahkan seharusnya dia membiarkan (mayat) bersamanya di dalam rumah sampai dia menghubungi seseorang di pagi hari. Dan melakukan kelaziman dengan memandikan, mengkafani dan menshalati serta menguburkannya. Akan tetapi kalau permasalahannya seperti yang telah diceritakan, maka seharusnya dia bertaubat kepada Allah dan memohon ampunan dan tidak mengulangi lagi (prilaku) seperti ini. Oleh karena itu, dia atau orang lain harus melakukan shalat (jenazah) kepada anak ini. Karena dia belum disholati. Yang benar sebagaimana yang dikatakan ahli ilmu bahwa shalat kepada mayat tidak dibatasi waktu (baik) sebulan tidak juga sampai setahun. Bahkan kapan saja mayat belum dishalati, maka dia harus disholati ketika memungkinkan hal itu. Dari sini, maka anak ini dishalati, baik dia atau orang yang mengetahui kondisinya dari kalangan umat Islam. Semoga Allah memudahkan kita untuk dapat menshalatkannya. Sehingga hal itu kebaikan diatas kebaikan.” (Fatawa Nurun Ala Ad-Darbi. Sebagai tambahan Silah lihat no. 13198, 13985)
Wallahua'lam.
Sumber: islamqa.info
Aturan Fiqih atas Janin yang Meninggal dalam Kandungan
M. Tatam Wijaya
Setiap makhluk yang bernyawa pasti akan merasakan kematian, sebuah peristiwa berpisahnya ruh dengan jasad. Kedatangannya begitu mengejutkan serta tak memandang sosok dan usia. Kapan pun ajal mereka datang, tak ada yang bisa mengundurnya sedetik pun. Begitu pun tatkala ajal mereka belum saatnya, tak ada yang bisa memajukannya walau sesaat.
Sebagaimana diketahui bersama, ada empat kewajiban utama orang hidup terhadap orang yang telah meninggal: memandikan, mengafani, menshalatkan, dan menguburkan. Pertanyaannya, bagaimana jika yang meninggal adalah janin, baik meninggalnya sebelum lahir, setelah lahir, atau sesaat setelah lahir? Apa saja kewajiban orang hidup terhadapnya? Lantas bagaimana pula jika yang meninggal dunia adalah ibu sang janin. Apakah janinnya boleh dikeluarkan? Apakah jenazah ibunya bisa langsung dikebumikan atau menunggu sang janin turut meninggal? Bolehkan ada tindakan yang mempercepat kematian sang janin? Sesungguhnya, masalah ini telah menjadi sorotan para ulama fiqih, khususnya para ulama Syafi‘iyyah. Salah satunya adalah Syekh Zainuddil al-Malaibari. Dalam kitabnya, Fath al-Mu‘in (Terbitan Dar Ihya al-Kutub al-‘Araiyyah, hal. 46), ia mengungkapkan:
ووري أي ستر بخرقة سقط ودفن وجوبا كطفل كافر نطق بالشهادتين. ولا يجب غسلهما بل يجوز. وخرج بالسقط العلقة والمضغة فيدفنان ندبا من غير ستر ولو انفصل بعد أربعة أشهر غسل وكفن ودفن وجوبا. فإن اختلج أو استهل بعد انفصاله صلي عليه وجوبا.
Artinya, “Dan harus dibungkus—maksudnya ditutup—dengan kain serta wajib dikubur mayat janin yang lahir keguguran. Sama halnya dengan mayat anak kecil kafir yang mengucap dua kalimat syahadat. Namun, mayat janin keguguran dan anak kecil kafir itu tidak wajib dimandikan, hanya saja boleh jika mau dimandikan. Dikecualikan dari janin yang keguguran adalah gumpalan darah atau gumpalan daging (calon janin) yang keguguran. Maka keduanya sunnah dikuburkan tanpa harus dibungkus. Namun, bila janin yang keguguran itu telah berusia empat bulan, maka ia wajib dimandikan, dikafani, dan dikebumikan. Berbeda halnya jika setelah keluar sang janin bergerak atau bersuara, maka ia wajib dishalatkan (selain dimandikan, dikafani, dan dikebumikan).” Dalam kitab yang sama, Fath al-Mu‘in (Terbitan Daru Ihya al-Kutu al-‘Araiyyah, hal. 46), Syekh Zainuddin al-Malaibari menjelaskan perihal wanita yang meninggal dalam keadaan mengandung.
ولا تدفن امرأة ماتت في بطنها جنين حتى يتحقق موته أي الجنين ويجب شق جوفها والنبش له إن رجي حياته بقول القوابل لبلوغه ستة أشهر فأكثر فإن لم يرج حياته حرم الشق لكن يؤخر الدفن حتى يموت.
Artinya, “Tidaklah dikebumikan jenazah wanita yang di dalam perutnya masih ada janin, sampai janin itu benar-benar meninggal. Bahkan, wajib membedah perutnya dan menggali kuburannya (jika telah dikuburkan) tatkala sang janin dalam perutnya diharapkan bisa hidup menurut pendapat para dukun bayi/bidan ahli karena telah berusia enam bulan atau lebih. Namun, jika sang janin tidak diharapkan bisa hidup, maka haram membedahnya, sehingga tunggulah proses penguburannya sampai si janin benar-benar meninggal.” Dari petikan tentang janin keguguran dan wanita hamil yang meninggal di atas, dapat ditarik sejumlah kesimpulan: 1. Janin yang keguguran dan masih berupa gumpalan darah dan gumpalan daging, sunnah dikuburkan, tidak wajib dibungkus, tidak wajib dimandikan, tidak wajib dishalatkan. 2. Jika sang janin yang keguguran sebelumnya tidak terlihat hidup, tidak pula terlihat ada tanda-tanda kehidupan, tidak pula tampak rupa dan kesempurnaan fisiknya, maka ia tidak wajib dimandikan dan tidak wajib dishalatkan. Namun, sunnah dibungkus dengan kain dan wajib dikuburkan. 3. Jika sang janin yang keguguran tidak terlihat hidup, tidak pula terlihat tanda-tanda hidup, namun tampak rupa dan kesempurnan fisiknya, terlebih usianya di atas empat bulan, maka jenazahnya wajib dimandikan, dikafani, dan dikuburkan, namun tidak wajib dishalatkan. 4. Jika janin yang keguguran sebelumnya terlihat hidup, tampak pula tanda-tanda kehidupannya, seperti menangis, bergerak, menjerit, menggigil, dan sebagainya, sesaat setelah dilahirkan, maka jenazahnya wajib dimandikan, dikafani, dishalatkan, dan dikuburkan, layaknya orang dewasa, walaupun saat keguguran usianya masih di bawah empat bulan, sebagaimana yang diungkap oleh Syekh Nawawi dalam Nihayah al-Zain (Terbitan Dar al-Fikr, Beirut, Cet. Pertama, hal. 156). 5. Wajib hukumnya membedah perut jenazah wanita yang di dalamnya ada janin, dengan catatan sang janin diharapkan bisa hidup berdasarkan hasil pemeriksaan dukun bayi, bidan, dokter, atau petugas medis lain, terlebih usia kehamilan telah mencapai enam bulan atau lebih. 6. Jika janin yang ada dalam rahim sang ibu tidak diharapkan bisa hidup, maka haram membedahnya. Tunggulah sampai ia benar-benar meninggal, sementara penguburan jenazah ibunya ditangguhkan. 7. Walau sang janin tidak dikeluarkan dari perut ibunya karena tidak memungkinkan untuk hidup, tetapi kematiannya tidak boleh dipercepat, seperti perut ibunya dibebani benda tertentu dan sebagainya. Wallahu a’lam. Ustadz M. Tatam Wijaya, Pengasuh Majelis Taklim “Syubbanul Muttaqin” dan Pembina Organisasi Kepemudaan “KEPRIS”, Desa Jayagiri, Kec. Sukanagara, Cianjur Selatan, Jawa Barat.
Sumber: nu.or.id